Oleh Yusuf Burhanudin*
Selasa, 23 September 2001
Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional
yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta
dan benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi,
apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci
sesuatu yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa
banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta
dan benci ini.
Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan
ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika
kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" (Qs.3:31-32).
Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai
dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak
pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika
kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada
mereka (Qs.5:8).
Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim.
Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda,
"Hakikat seorang Muslim adalah,
mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau
sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (HR. Imâm Bukhârî).
Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari
itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum
terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian
yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat
sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (al-Hadits).
Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad adalah iri dan bersikap dengki
terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan
dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari
sini hasud berubah wujud menjadi
hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan
orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok
tertentu.
Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya, "Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena
hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu
bakar" (HR. Abû Dâwûd).
Wajah seorang muhâsid (pelaku hasud)
tak lain seorang provokator yang senang mengadu-domba antarsesama, menabur
fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwân).
Mereka diancam Nabi SAW. tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan
pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia (HR. Bukhârî-Muslim).
Dalam konteks Islam, shilat-u ar-rahmi
(shilah, menghubungkan; dan rahmi, berasal dari rahim yang sama)
merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antarinsan.
Inilah inti rahmat-an lil-‘âlamîn;
mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika
sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak
turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan (Bulûghu ‘l-Marâm, 2000; 496).*
Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah
mengajarkan, "Wahai sekalian
manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan orang yang membutuhkan,
sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah Tahajjud pada sepertiga malam
(introspeksi), niscaya kamu akan masuk surga dengan damai" (HR. Imâm
Tirmidzî).
Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan
kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain selamat dari
ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u
al-Bârî I; 76-86). Wallâhu a’lam.
________________________________
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas
Syarî’ah wa al-Qânûn (Islamic Law and Juriprudence Faculty), al-Azhar
University, Cairo-Egypt.
** Dari Anas ra. Allah berfirman,
Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang menahan amarahnya, maka Allah
akan menahan azab-Nya" (HR. Thabrânî, Bulûghu ‘l-Marâm, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, Dâr-u Ibn-u Hazm: 2000, hal. 496).
Belum ada tanggapan untuk "Hakikat Cinta Dan Benci"
Post a Comment