Oleh Lucas Partanda Koestoro
Pendahuluan
Pada awalnya pengertian obyek arkeologi berkenaan dengan
peninggalan kebudayaan masa silam yang tidak berupa
keterangan-keterangan tertulis. Zaman dimaksud dibedakan dari zaman sejarah
karena ketiadaan keterangan tertulis, dan di bagian ini orang kerap mengartikan
bahwa arkeologi membatasi diri pada yang disebut zaman prasejarah. Walaupun
demikian, dari zaman sejarah kuno, zaman ketika telah dikenal adanya keterangan
tertulis, juga banyak peninggalan yang tidak berupa keterangan tertulis namun
tetap merupakan bukti penting dari kebesaran suatu kebudayaan. Keseluruhan
peninggalan itu memberikan bahan yang begitu besar bagi arkeologi.
Oleh karena itu arkeologi juga berlaku sebagai pemasok
bahan-bahan sejarah, dan cenderung semakin banyak bergerak di bidang sejarah
kuno. Bagian dari sejarah nusantara, sejak zaman prasejarah tentunya, masih
tergantung pada penelitian arkeologi. Arkeologi dipercaya dapat memberikan
bahan yang tidak mencukupi untuk menulis tentang sejarah namun memadai untuk
sekedar mengisi kekosongan bahan. Bukti arkeologis dapat bernilai lebih
dibanding dengan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dokumen tertulis. Oleh
karena itu wajar bila hasil kegiatan arkeologis dapat menimbulkan perubahan
dalam historiografi yang mendukung kemungkinan penulisan kembali sejarah
nusantara ke arah yang lebih obyektif.
Dalam sejarah Indonesia, abad ke-5 umumnya dianggap
sebagai berakhirnya masa prasejarah. Itu dihubungkan dengan penemuan bukti
arkeologis berupa prasasti di Pulau Kalimantan yang secara
paleografis diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5. Adapun berkenaan
dengan prasejarah moda transportasi air nusantara, bukti arkeologis dari Pulau
Sumatera memperlihatkan hal berikut.
Pengertian prasasti merujuk pada sumber sejarah yang
ditulis di atas batu atau logam dan kebanyakan dibuat atas perintah penguasa
suatu daerah. Umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu
daerah sebagai sima, daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat
tertentu yang telah berjasa atau anugerah raja untuk pemeliharaan bangunan suci
tertentu. Sejumlah kecil prasasti merupakan salinan keputusan pengadilan, yang
biasa dinamai jayapattra.
Adapun prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 1920 (Coedes,1930;
Boechari,1986), membuka pertulisannya dengan: “….. Pada tahun Saka 605, hari
kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik perahu (nayik di samwau
) untuk mencari kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Yjestha, raja
membebaskan diri dari …..” dan seterusnya.
Dalam kaitannya dengan topik pembicaraan kali ini, maka prasasti Kedukan Bukit merupakan sumber informasi
menyangkut sebuah tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita mengenai
moda transportasi air nusantara. Esensinya tidak tergantung dari peristiwa yang
dicatat, bahwa pada suatu ketika sang raja memimpin bala tentara yang terdiri
dari sekian ribu orang untuk membangun Sriwijaya. Pentingnya tanggal, bulan,
dan tahun dalam catatan itu karena merupakan tanggal yang paling tua mengenai
penyebutan perahu dalam bahasa Melayu Kuno, sehingga menjadi tonggak yang
mengawali sejarah perahu nusantara.
Oleh karena prasasti tersebut menyatakan tentang tahun
683 (yakni tahun Saka 605), maka sejauh ada kaitannya dengan penyebutan perahu
dalam berbagai sumber tertulis, zaman sebelum tahun 683 merupakan prasejarah
dari moda transportasi air nusantara. Berkenaan dengan kurun waktu prasejarah
itu banyak pertanyaan penting mengenai keberadaan perahu yang tidak dapat
dijawab dengan pasti. Pertanyaan-pertanyaan dimaksud antara lain tentang proses
pembudayaannya, luas kawasan yang memanfaatkan perahu, atau pertanyaan lain
yang menuntut jawab tentang kekhususan pemakaian perahu tadi bagi kalangan
tertentu dan maksud-maksud khusus. Ini berhubungan pula dengan pertanyaan lain
yang mempersilakan pengajuan jawaban dengan mengemukakan logika, perbandingan,
dan pendugaan, yang semuanya bersifat hipotetis.
Walaupun disadari bahwa prasasti merupakan sumber
tertulis yang amat terpercaya, kita tetap perlu memaklumi ketidaksanggupannya
menyampaikan informasi utuh mengenai perahu mengingat isi pertulisannya
terbatas pada hal-hal bersifat resmi. Oleh karena itu membicarakan perahu
nusantara yang berasal dari masa sebelum tahun 683, selain melalui sisa
bangkainya, seyogyanya mengandalkan sumber-sumber lain nusantara maupun
sumber-sumber lain yang berasal dari luar.
Harus juga diketahui bahwa tidak semua sumber-sumber
luar/asing yang ada sangkutpautnya dengan nusantara, hanya sumber-sumber
tertentu – antara lain dari Cina – ada gunanya. Contoh yang cukup baik ialah
sumber yang menceritakan ketika I-Tsing pada tahun 672, setelah tinggal cukup
lama di Palembang, meneruskan perjalanan ke India menaiki perahu seorang raja
Sumatera. Hal ini jelas menunjukkan adanya pelayaran yang dilakukan oleh orang
Sumatera di Samudera Hindia pada abad-abad itu. Indikasi tersebut juga
dipertegas oleh penafsiran dari Pierre Paris (Nooteboom,1972) berdasarkan
sumber luar nusantara lainnya, yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 SM maupun
pada abad pertama Masehi telah ada aktivitas pelayaran menggunakan
perahu-perahu (bercadik) dari Sumatera ke India. Selain itu Groeneveld (1960)
juga mencatat adanya berita Cina yang menceritakan hubungan dengan Jawa sejak
abad ke-5, dan dengan Sumatera pada awal abad ke-6 yakni pada masa pemerintahan
dinasti Liang (502–556).
Pembudayaan Moda Transportasi Air
Nusantara
Diskusi menyangkut prasejarah sarana transportasi air
mengingatkan kita untuk menjenguk rekonstruksi hipotetis yang dikemukakan oleh
FL Dunn (1975). Disebutkannya bahwa sekitar 20.000 SM, pada saat Semenanjung
Malaya bersatu dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indocina,
hunter-fisher-gatherers sebagai mata pencaharian penduduknya didukung budaya
alat batu yang pre-Hoabinhian. Belum adanya effective sea-faring menyebabkan
belum dikenalnya maritime trade antara Paparan Sunda dan tempat lain. Transaksi
pertukaran ketika itu masih sangat terbatas, dengan dasar dari bentuk
pertukaran masih berupa simple gift giving (pertukaran sederhana), atau barter
antara masyarakat pengumpul (collector) dan pedagang hulu (primary traders).
Kita dapat mensejajarkan gambaran tersebut dengan hasil
penelitian FL Dunn dan DF Dunn (1984) yang mengemukakan bahwa ketika itu
teknologi pelayaran masih sangat terbatas sehingga baru rakit saja yang
dikenal. Mengingat keterbatasan perkembangan pengetahuan navigasinya²,
eksploitasi sumber makanan di tepian pantai dilakukan secara sederhana dengan
mengutamakan pencarian kerang.
Berkenaan dengan pembudayaan rakit sebagai moda
transportasi air, kemunculannya bermula melalui batang kayu-batang kayu atau
bambu yang diikat menjadi satu secara horizontal. Selanjutnya dilakukan
penambahan jumlah lapisan horizontal batang kayu atau bambunya yang menyebabkan
daya apung dan daya muatnya bertambah besar.
Kemudian ketika Semenanjung Malaya telah terpisah dari
daerah sekitarnya di Asia Tenggara, sekitar 10.000 SM atau akhir Pleistosen,
penghidupan masyarakatnya mungkin berbasiskan pada perburuan, penangkapan ikan,
dan meramu dengan tambahan, tetapi tidak begitu intensif, bertanam umbi-umbian
dan tanaman lain (Dunn,1975). Perahu dan rakit dimanfaatkan dalam penjelajahan
rawa dan hutan bakau untuk memperoleh bahan makanan. Adanya peningkatan pengetahuan
navigasi memungkinkan dilakukannya pelayaran, walaupun amat terbatas, di laut
terbuka. Keadaan yang demikian itu juga ikut menentukan laju penjelajahan
wilayah baru untuk dieskploitasi (Dunn & Dunn,1984). Hipotesa mengenai
perdagangan menyatakan bahwa maritime trade hampir tidak ada, kecuali mungkin
hanya sebagai sebuah konsekuensi dari beberapa perjalanan perahu di sepanjang
pantai secara kecil-kecilan. Internal trading masih tetap yang utama namun
frekuensi dari coastal inland trading telah bertambah/meningkat (Dunn,1975).
Membandingkannya dengan kondisi di tempat lain, di Eropa,
mesolitik – masa peralihan dalam zaman batu, antara paleolitik (zaman batu tua)
dan neolitik (zaman batu baru) – berlangsung antara 10.000 tahun sampai 5.000
tahun sebelum masehi. Bukti adanya penggunaan moda transportasi air saat itu
diperlihatkan melalui penemuan sebuah perahu lesung (dug-out canoe) dengan
haluan yang masih papak. Selain itu, melalui sisa kerang yang banyak diperoleh
dalam berbagai kegiatan arkeologis di sepanjang pantai Samudera Atlantik dan
Laut Utara, dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya mesolitik itu
mengkonsumsi kerang dalam jumlah yang cukup besar (Lambert,1987). Adapun perahu
lesung tertua yang ditemukan di Pesse, Belanda, berdasarkan analisis
pertanggalan radiokarbon diketahui berasal dari sekitar 6315 SM
(Johnstone,1980).
Selanjutnya, di sekitar 5.000–4.000 SM, internal trading
terus berlanjut seperti saat sebelumnya tetapi perdagangan pantai-pedalaman
berkembang sampai pada bentuk perdagangan eksternal. Kemungkinan maritime trade
juga telah dimulai pada masa itu sebagai konsekuensi dari ekspansi yang
demikian cepat dalam pelayaran laut di kawasan kepulauan Asia Tenggara
(Dunn,1975). Diperkirakan teknologi pembangunan perahu telah berkembang
sedemikian rupa sehingga memungkinkan dilakukannya pelayaran laut terbuka
dengan lebih baik. Penggunaan cadik³ telah dikenal seperti halnya pemanfaatan
layar sederhana yang memungkinkan penangkapan ikan maupun bahan makanan lain di
perairan yang cukup jauh dari garis pantai (Dunn & Dunn,1984).
Dalam pembudayaan perahu, kita dapat mengatakan bahwa
melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, perkembangan perahu lesung telah
menghasilkan perahu papan (planked boat). Evolusinya dimulai dari proses penambahan
papan pada kedua dinding/sisi perahu lesung untuk meningkatkan kemampuan apung
serta daya muat yang lebih besar. Kebutuhan akan alat transportasi air yang
lebih besar untuk memuat beban lebih banyak menyebabkan dibangunnya perahu yang
lebih besar.
Erat kaitannya dengan hipotesa yang dikemukakan di atas,
keberadaan cadik pada perahu nusantara juga telah memunculkan pembicaraan
atasnya. Pendapat mengenai asal-usul cadik pada perahu nusantara telah
dikemukakan oleh Heine-Geldern (1932). Pengembangannya oleh Hornell (1946) juga
sampai pada kesimpulan bahwa hal itu memang terjadi di pantai-pantai Asia
Tenggara. Berdasarkan hal itu Nooteboom (1972) berpendapat bahwa lebih tepat
bila dikatakan kemunculan cadik-cadik itu terjadi di perairan muka pantai Asia
Tenggara serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat
Indonesia. Bahwa masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan
perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur, menyebabkan
hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda, pengapung yang
dipasang di kedua sisi perahu. Ujudnya seperti yang sekarang disebut jukung di
Bali, atau londe di Sulawesi Utara. Namun ketika pelaut-pelaut tadi sampai di
perairan yang lebih besar, yakni Samudera Pasifik, kelengkapan itu dianggap
membahayakan. Hornell mengemukakan bahwa ketika itulah diputuskan untuk hanya
menggunakan cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan
perahu-perahu bercadik tunggal.
Keberadaan perahu sebagai sarana transportasi air di
nusantara tentu dapat dikaitkan dengan migrasi penduduk dan penyebaran bahasa4.
Dalam beberapa hipotesa yang pernah dikemukakan untuk menerangkan migrasi
penduduk berbahasa Austronesia di kepulauan Asia Tenggara, Pasifik, bahkan
Madagaskar, sebagian yang dikerjakan dalam navigasi amat esensial. Dalam teori
yang disimpulkan oleh Glover (1979), ekspansi kebudayaan kapak persegi yang
menandai awal masa neolitik berlangsung dari utara Asia Tenggara di sekitar
Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya. Ketika itu berkembang pula rice
culture, pendomestikan babi dan kerbau, perahu bercadik, bahasa Austronesia,
dan pakaian kulit kayu.
Setelah itu, Bellwood (1985) melalui penggunaan data baru
yang dilengkapi dengan linguistik prehistorik dan dating sisa arkeologis
memberikan interpretasi lain tentang awal kebudayaan Austronesia. Taiwan di
sekitar 4.000 SM, atau sebelumnya, sudah dihuni manusia Austronesia. Sebagian
daripadanya bermigrasi ke Luzon melalui jalan laut untuk kemudian menyebar ke
seluruh Philipina pada sekitar 3.000 SM. Dari sana, sebagian berangkat ke
Maluku, dan yang lainnya ke Sulawesi dan sekitar bagian barat Indonesia serta
Semenanjung Malaya melalui Palawan. Seluruh migrasi yang berakhir pada kurun
waktu antara 2.000 — 500 SM itu dilakukan dengan menggunakan perahu.
Masuk dalam pembicaraan tentang sarana transportasi air
untuk masa yang teramat tua dari sejarah navigasi di Asia Tenggara ini, memang
belum didukung oleh bukti arkeologis yang langsung, dalam bentuk situs bangkai
perahu yang utuh. Di Kampung Sungai Lang, Banting, Selangor, sepasang nekara
telah dijumpai tertanam di atas sekeping papan perahu, dan dating atas papan
itu telah memberi usia sekitar abad V SM (Peacock,1965). Adapun situs yang
lebih kuno yang menghasilkan elemen pembentukan perahu prehistorik dijumpai di
Semenanjung Malaya di tepi Sungai Langat di dekat Kampung Jenderam Hilir, di
Selangor, Malaysia. Ini berkenaan dengan keberadaan sebuah dayung, bersama-sama
dengan peralatan neolitik5 yang memungkinkan diperolehnya data kalibrasi yang menunjukkan
sekitar abad VI SM (Batchelor,1977).
Memang harus diterima bahwa penemuan dayung tersebut
belum dapat menunjukkan apakah ketika itu juga telah digunakan perahu papan.
Sebagaimana diketahui, dua jenis perahu yang dikenal, masing-masing adalah perahu
lesung (dug-out canoe) dan perahu papan (planked boat) sama-sama dapat
menggunakan dayung sebagai tenaga penggeraknya. Namun keberadaan sekeping papan
perahu di Kampung Sungai Lang telah membuktikan bahwa setidak-tidaknya pada
abad V SM telah dikenal teknologi pembangunan perahu papan.
Adapun untuk masa yang lebih kemudian, keberadaan perahu
nusantara menjadi semakin jelas melalui kegiatan arkeologis atas beberapa situs
bangkai perahu di seputar Laut Cina Selatan (yang dalam berbagai kesempatan dan
konteks pantas disebut Laut Tengah/Mediterania-nya Asia).
Berikut ini adalah keterangan singkatnya.
1. Kuala Pontian
Pada situs di pantai timur Pahang, Malaysia ini ditemukan
tiga buah papan, sebuah lunas, dan beberapa gading-gading. Ukuran terpanjang
6,1 meter. Papan-papannya disatukan dengan ikatan tali ijuk melalui
lubang-lubang di tepian papan. Di tepian papan juga terdapat lubang-lubang
tempat menanam pasak. Untuk menyatukan papan dengan gading-gading, digunakan
tali ijuk melalui tambuko – tonjolan pada papan yang sengaja dipahat dengan
bentuk dasar persegi empat – yang bentuknya membulat (Evans,1927). Carbon
dating menghasilkan titimangsa antara tahun 260–430 (Booth,1984).
2. Butuan
Di muara sungai Butuan di Ambangan, Butuan City,
Filipina, dijumpai sisa bangkai dua buah perahu. Bangkai perahu pertama
merupakan sisa sebuah perahu berukuran 11,6 meter. Papan-papan pembentuknya
dikerjakan dengan cara dipahat. Selain pemanfaatan tambuko untuk penyatuan
lunas dan papan badan perahu, digunakan pula pasak. Dating dengan metode C14
menunjukkan bahwa perahu itu berasal dari abad III–V. Adapun mengenai perahu
kedua, walaupun ukurannya lebih besar namun menggunakan teknik pembangunan yang
sama. Papan-papannya memiliki ukuran panjang 15 meter dengan lebar sekitar 20
cm dan tebal 3 cm.
3. Kolam Pinisi
Pada situs di bagian barat kota Palembang ini terdapat
sisa struktur sebuah perahu yang berukuran besar. Lebih dari enampuluh keping
badan dan lunas perahu yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong-potong dengan
ukuran maksimum hanya 2,5 meter. Tebalnya sekitar 5 cm, dengan lebar antara
20–30 cm. Seluruh papan-papan memiliki tambuko pada permukaannya. Lubang-lubang
untuk memasukkan talididapati tidak hanya pada tambuko saja tetapi juga pada
bagian tepi papan. Ini menunjukkan bahwa teknik ikat digunakan untuk menyatukan
tidak saja papan pembentuk badan perahu melainkan pula papan badan perahu
dengan gading-gading. Adapun lubang-lubang untuk menempatkan pasak pada bagian
tepi papan menunjukkan bahwa pasak kayu telah digunakan untuk memperkuat
penyatuan badan perahu. Perolehan data kalibrasi melalui pemanfaatan metode
C-14 atas sampel papan perahu itu menunjukkan angka tahun 434–631 Masehi
(Manguin,1989).
4. Tulung Selapan
Tali ijuk, pasak, tambuko, dan ketebalan papan-papannya,
mengindikasikan keberadaan perahu kuno yang menggunakan teknik ikat. Ukuran
perahu di pesisir timur Sumatera Selatan ini tidak berkisar jauh dari ukuran
perahu-perahu lain yang sebelumnya telah lebih dahulu ditemukan kembali di
wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dugaan kronologinya lebih mengacu pada
kolompok perahu dari abad-abad V–VIII.
5. TPKS Karanganyar
Beberapa potong papan sisa badan perahu telah ditemukan
di areaI Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang. Ketebalannya 3 cm
dengan jarak lubang untuk memasukkan tali ijuk adalah 3 cm, dan jarak lubang
untuk pasak kayu sekitar 11 cm. Untuk sementara berkenaan dengan teknologi
pembangunannya, sisa bangkai perahu itu digolongkan ke dalam kelompok abad
V–VIII.
6. Sambirejo
Pada situs di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera
Selatan ini dijumpai 11 keping papan yang merupakan bagian badan perahu. Ukuran
terpanjang papan-papan tersebut adalah 10,9 meter dan yang terpendek 4 meter.
Ketebalan rata-rata 3,5 cm dengan lebar 23 cm. Untuk Menyatukan papan-papan
tersebut, selain pasak juga digunakan tali ijuk. Penggunaan pasak tampak dari
lubang-lubang di tepian papan serta pasak yang masih tertanam di dalamnya.
Pemanfaatan tali ijuk tampak jelas dari adanya tambuko dengan lubang-lubang untuk
memasakkan tali ijuk. Tali ijuk tersebut masih dijumpai pada sebagian papan
ber-tambuko itu. Bersamaan dengan papan-papan tersebut, dijumpai pula sebuah
kemudi kayu berukuran panjang 5,9 meter dengan bagian terlebarnya 56 cm.
Pengamatan atas temuan tersebut menghasilkan dugaan bahwa
kesebelas papan tersebut tidak berasal hanya dari sebuah perahu saja, melainkan
tiga. Delapan papan berasal dari sebuah perahu yang panjangnya diperkirakan
20–23 meter dengan bagian terlebar mencapai 6 meter. Dua papan berikutnya
menunjukkan keberadaan sebuah perahu lain yang berdasarkan analisis C-14
diketahui berasal antara tahun 610 sampai tahun 775. Dugaan tentang perahu
ketiga diperoleh dari keberadaan papan lain yang ditemukan bersama
(Manguin,1989).
Arkeologi dan Teknologi
Pembangunan Perahu Nusantara
Upaya perekonstruksian peristiwa masa lalu serta uraian
sejarahnya, didasarkan atas sumber informasi yang berupa bukti peninggalan
peristiwa itu sendiri. Ujudnya dapat berupa dokumen tertulis maupun sisa benda
budaya. Oleh karena itu keliru bila membayangkan bahwa arkeologi hanya kecil
kontribusinya tentang apa yang sudah diketahui dari catatan sejarah. Untuk
periode prasejarah yang jelas tidak ada catatannya, dan kadang-kadang dalam
periode sejarah dimana banyak kesenjangan tentang pengetahuan peristiwa di
dalamnya, di sanalah arkeologi membantu melengkapinya. Pada beberapa
kesempatan, sumber terkaya dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah itu
diperoleh melalui sisa bangkai perahu yang “terpelihara” dalam lingkungan di
mana obyek tersebut berada yang berhasil diliput melalui kerja arkeologi
maritim (Renfrew & Bahn,1991).
Informasi dari data yang diperoleh melalui kegiatan
arkeologi maritim selama ini, secara garis besar memperlihatkan bahwa teknologi
pembangunan perahu nusantara (di luar jenis yang disebut dengan dug-out canoe
atau perahu lesung, yang dibuat hanya dari sebatang pohon saja) menggunakan a.
teknik Ikat; b. teknik gabungan ikat dan pasak; c. teknik pasak; serta d.
teknik lain. Patut dicatat pula bahwa pengelompokkan teknologi pembangunan
perahu ini dapat dikaitkan dengan aspek kronologinya.
1. Teknik ikat
Teknik ikat rnurni memang belum dijumpai bukti
arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas atas data yang menginformasikan
keberadaan pemanfaatan teknik ikat yang bercampur dengan pemanfaatan pasak,
namun teknik ikatnya sendiri tetap mendominasi pembentukan badan perahu.
Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Sementara catatan
etnografis membantu pengenalan teknologi tua tadi seperti yang masih terlihat
pada perahu penangkap ikan paus (peledang)6 di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa
Tenggara Timur; maupun perahu berteknik ikat di Pulau Hainan (Vietnam) dan
Pilipina.
2. Teknik Gabungan Ikat dan Pasak
Bukti yang diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu
di Sumatera Selatan (Sambirejo; Kolam Pinisi; Tulung Selapan; TPKS Karanganyar)
memperlihatkan bahwa teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak
kayu. Ini tercerrnin dengan semakin dekatnya jarak antara lubang-lubang untuk memasukkan
pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya. Artinya pasak kayu tidak lagi
berfungsi hanya sebagai sarana pembantu memperkokoh sambungan tetapi justru
merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara
kronologis, inilah tipe perahu dari antara abad ke-5 hingga abad ke-8.
Berkaitan dengan itu, kita juga dapat mengatakan bahwa upaya pengenalan akan
model perahu yang digunakan pada zaman Sriwijaya tampaknya layak mengacu ke
sana (Koestoro,1993).
3. Teknik Pasak
Walaupun bukti arkeologisnya belum dijumpai, sumber
Portugis abad ke-16 mendeskripsikan tentang jung berteknik pasak berkapasitas
hingga 500 ton. Dalam perahu yang bertradisi Asia Tenggara itu tidak dikenal
pemakaian simpul tali atau paku. Pemanfaatan teknik pasak demikian itu terus
berlanjut hingga beberapa waktu berselang, sebagaimana terlihat dalam
pembangunan perahu pinisi di Sulawesi dan lete di Madura.
4 . Teknik Lain
Selain yang telah disebut di atas, dikenal pula adanya
teknik lain dalam pembangunan perahu, yakni teknik jahit dan teknik paku. Kedua
,jenis teknik tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai, yakni di sekitar
Samudera Hindia dan di Cina (Utara). Sayang sekali belum ada penemuan atas
situs-situs bangkai perahu yang memanfatkan teknik pembangunan yang demikian di
nusantara.
Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara
Bukti arkeologis berupa nekara – gendang besar dari
perunggu berhiaskan gambar perahu, orang menari, topeng, dan sebagainya sebagai
peninggalan dari zaman perunggu yang dipergunakan dalam upacara ritual – yang
dijumpai di beberapa tempat di wilayah nusantara, seperti di Dieng (Jawa), Pulau
Selayar, Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur), atau di Pulau Roti (juga di Nusa
Tenggara Timur) memperlihatkan bahwa pelayaran telah berlangsung sejak masa
yang silam. Aktivitas pelayaran itu juga sejalan dengan perdagangan yang
dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara nusantara dengan daratan Asia.
Tukar-menukar tentunya menjadi cara perdagangan ketika
itu. Nekara sebagai salah satu produk masyarakat prasejarah memiliki nilai
tersendiri pada masyarakat pendukung budayanya. Bahwa benda-benda tersebut kebanyakan
dihasilkan di daratan Asia, keberadaannya di nusantara yang jauh dari tempat
asalnya merupakan buah dari perdagangan yang berlangsung. Walaupun tidak ada
keterangan tertulis mengenai itu, analisis tipologis yang diberlakukan atas
obyek-obyek prasejarah itu memperlihatkan kronologi yang cukup tua. Kita dapat
membayangkannya dengan mengetahui bahwa di Asia Tenggara logam mulai dikenal
sekitar 3.000–2.000 tahun SM. Adapun di Indonesia penggunaan logam diketahui
pada masa beberapa abad sebelum masehi.
Kemudian untuk masa yang lebih kemudian, setiap kali ada
sumber tertulis tentang sea-faring Indonesia di Samudera Indonesia, ternyata
bahwa itu berasal dari daerah paling barat dari Indonesia, yakni Sumatera atau
daerah yang berdekatan. Sumatera, bersama pulau-pulau kecil didekatnya dan
pantai barat Semenanjung Malaya, memang penting sekali artinya bagi pelayaran
di Samudera Indonesia. Rute laut yang menghubungkan daerah kebudayaan yang
besar dan tua dari Asia Selatan dan Asia Timur tentu melalui kawasan tersebut
(Nooteboom,1972).
Penduduk Sumatera, yang berada di ujung barat nusantara
telah melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India sejak abad ke-5
dan ke-6. Kemenyan dan kapur barus adalah sebagian produk yang menjadi komoditi
untuk memenuhi kebutuhan pedagang Arab, Persia, dan Cina (Selling,1981).
Sebagian ahli juga sepakat bahwa sejak abad ke-7, secara teratur pedagang Arab
yang kebanyakan datang dari India berlayar ke kawasan Asia Tenggara.
Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukannya di nusantara, malahan
mencapai Cina sebelah selatan. Adapun komoditi yang diperlukan adalah lada,
rempah-rempah, dan kayu wangi (Hall,1988).
Keterangan yang demikian selayaknya diterima mengingat
besarnya jumlah situs bangkai perahu di Sumatera. Sebagian besar daripadanya
memang cukup layak untuk digunakan sebagai perahu niaga yang laik layar di
perairan terbuka. Kronologinyapun mengacu pada masa-masa pra-keindiaan
nusantara.
Berkenaan dengan itu tampaknya tidak keliru bila kita
sepakat dengan Van Leur (1955) dan Wolters (1967) yang berpendapat bila
hubungan dagang antara Indonesia dan India lebih dahulu berkembang daripada
hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Hubungan tersebut tentunya telah
lama terjadi sebelum hal itu disinggung dalam catatan sejarah. Salah satu
sebabnya mungkin karena pelayaran dan perdagangan India lebih bebas dilakukan
para saudagarnya dibandingkan dengan Cina yang cenderung terbatas akibat
ketatnya pengawasan pihak penguasa/rajanya.
Hal lain yang juga patut disimak adalah kenyataan bahwa
pengaruh India dan Cina pada perkembangan sejarah Indonesia di zaman kuno cukup
berbeda. Dampak dari luasnya hubungan dagang dengan India ada lahirnya
perubahan-perubahan dalam bentuk tata negara di sebagian daerah Indonesia.
Demikian pula dengan perubahan dalam tata dan susunan masyarakatnya sebagai
akibat tersebarnya agama Buddha dan Hindu. Hal semacam ini tidak tampak bila
dikenakan pada hubungan antara Indonesia dengan Cina.
Patut digarisbawahi adalah pendapat Nooteboom (1972),
bahwa dahulu penguasa-penguasa nusantara-lah yang mendatangkan Brahmana dari
India untuk memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya serta untuk lebih
mengukuhkan kekuasaan dan pamornya. Kemungkinan ini lebih besar bila memang ada
pelayaran Indonesia sendiri ke India. Dan tentu pendapat ini berbeda dengan
teori lain yang menyatakan terjadinya semacam bentuk kolonisasi/penjajahan oleh
India atas bumi nusantara, karena bila pendudukan India pada waktu itu memang
betul terjadi sudah pasti aktivitas pelayaran Indonesia tidak dapat berkembang
dengan baik.
Penutup
Itulah sebagian yang dapat dibayangkan mengenai
prasejarah perahu nusantara berdasarkan situs bangkai perahu dan sumber
tertulis yang relatif terbatas jumlahnya. Bila akhirnya sebuah prasasti
berangka tahun 683 muncul di atas panggung sejarah, maka ketika itulah kita
berjumpa dengan sebuah kata untuk perahu dalam bahasa Melayu Kuno, suatu bahasa
yang telah melampaui perkembangan berabad-abad lamanya. Tonggak ini pula yang
membawa kita untuk masuk pada zaman sejarah perahu nusantara.
Sekilas tentang dinamika yang dijumpai dalam lintas
sejarah kemaritiman nusantara, menyangkut pula aspek teknologinya. Bahwa
pemanfaatan teknik pembangunan perahu mengalami perkembangan, tentunya
berkenaan tidak saja dengan pemenuhan kebutuhan melalui kemampuan yang dimiliki
melainkan pula didorong oleh bentuk-bentuk komunikasi budaya dan antar bangsa
yang merambahinya.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan tentu tidak
boleh mengabaikan penelitian sejarah maritimnya. Harus ada kesadaran bahwa
wawasan bahari tidak hanya diperlukan untuk zaman yang lampau yang kita sebut
pula dengan zaman bahari, melainkan sangat penting bagi eksistensi dan
kelangsungan hidup suatu negara kepulauan. Bagaimanapun juga, pengaruh daripada
kekuatan laut kepada jalannya sejarah manusia, termasuk sejarah Kepulauan
Indonesia, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Pengkajian atas obyek arkeologi dan sejarah berpotensi
untuk memperlihatkan bahwa kemampuan berlayar perahu-perahu nusantara dengan
jalur-jalur pelayarannya membuktikan bahwa sejak dahulu bangsa-bangsa di
nusantara telah memiliki pengetahuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar
ke mana saja mengarungi samdera yang luas. Ini juga mempertegas pemahaman kita
akan adanya kondisi yang kelak menghasilkan pemberlakuan hukum/peraturan dalam
pelayaran dan perdagangan yang memungkinkan aktivitas-aktivitas itu berjalan
pesat dan tertib.
Jelas masih banyak yang harus dikerjakan untuk memperoleh
gambaran utuh rekonstruksi kehidupan masyarakat bahari nusantara sejak dahulu
kala. Semua aspek perlu diketahui dengan baik dalam upaya penyusunan uraian
sejarah bangsa. Disadari bahwa sejarah memang bukan sekedar kumpulan fakta atau
pencarian berbagai akibat dari peristiwa masa lalu untuk masa selanjutnya saja,
namun terlebih dari itu dapat memberikan keluaran konkrit bagi masyarakat untuk
menyikapi benang merah yang menghubungkan fakta masa lalu dengan peristiwa
sejenis yang (cenderung) terulang. Dan menutup kepingan kerja sederhana ini,
yang membicarakan soal pemahaman dan penafsiran subyektif relatif atas
informasi yang tersedia, kami membuka diri bagi pandangan dan gagasan
alternatif yang memungkinkan penyempurnaannya.
Catatan
· Ini berkenaan dengan temuan di Muarakaman, Kutai, di bagian baratlaut Kota
Samarinda, Kalimantan Timur berupa tujuh buah yupa–tiang batu yang apabila
ditegakkan pada sebuah tempat upacara persembahan agama Siwa merupakan sarana
untuk menambatkan tali pengikat hewan kurban – berisi inskripsi beraksara
Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja
Mulawarman yang menyebut tentang kakeknya yang bernama Kundunga, dan ayahnya
yang bernama Aswawarman yang dikatakan sebagai pendiri dinasti.
· Pengertian navigasi berkenaan dengan pengetahuan untuk
menjalankan/melayarkan perahu dari satu tempat ke tempat yang lain. Masuk di
dalamnya adalah pengertian hal-hal yang perlu diketahui agar pelayaran berjalan
lancar. Navigasi tradisional umumnya hanya bersumber pada pengalaman, tradisi,
naluri, dan kepekaan terhadap alam sekitar. Secara tradisional, pengetahuan
navigasi meliputi antara lain menentukan posisi dan mengenal arah/haluan yang
harus dituju (piloting) (Lopa,1982). Pengertian di atas juga berkenaan dengan
cuaca, karena interaksi yang erat terjadi antara udara dan laut. Perubahan
cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, karena angin misalnya, sebagai salah satu
unsur meteorologi yang penting dalam masalah kelautan, menentukan terjadinya
gelombang dan arus. Beruntung bahwa di Indonesia pada umumnya jarang terjadi
angin yang sangat kuat. Berbeda dengan di kawasan samudera di sekitar 100 LU
dan juga sekitar 100 LS dimana badai yang lebih dikenal dengan siklon tropis
sering mengamuk (Nontji,1987). Masih berkenaan dengan angin, pola angin yang
sangat berperan di Indonesia adalah angin rnusim (monsoon). Angin musim bertiup
secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, dan pada periode lainnya
bertiup dengan arah yang berlainan. Mengingat posisi geografisnya, kawasan
Indonesia paling ideal untuk berkembangnya angin musim. Pada Musim Barat,
ketika angin berhembus dari Asia ke Australia, para pelaut menaikkan layar
meninggalkan pelabuhan di Jawa menuju Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Kemudian mereka kembali ke pangkalannya dengan memanfatkan angin Musim Timur
(Nontji,1987). Di beberapa tempat, disebutkan pula nama lain untuk istilah
angin Musim Timur, seperti “angin pedewakang” di daerah Riau (Kepulauan) karena
pada masa itulah mereka melihat iring-iringan ”pedewakang” (bentuk yang “lebih
tua” dari perahu pinisi ) membanjiri kawasan perairan sekitarnya menuju ke
Singapura.
· Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di
kiri kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar
tidak mudah terbalik.
· Besarnya arus migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang
antara. Hipotesis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Lee (1995),
memperlihatkan bahwa salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan
bermigrasi adalah adanya penghalang antara, sehingga, misalnya, ketika pada
abad ke-17 dan ke-18 pelayaran ke Amerika masih merupakan pekerjaan yang
berbahaya dan tidak mudah dikerjakan, arus migrasi sedikit sekali. Sebaliknya,
contoh lain dalam sejarah membuktikan bahwa dengan terhapusnya
penghalang-penghalang tersebut memunculkan arus-arus migrasi. Sehingga tidak
mengherankan apabila perkembangan teknologi pembangunan perahu dan pengetahuan
navigasi pada sebagian bangsa berbahasa Austronesia di Asia Tenggara, merupakan
sarana mengatasi kesulitan yang melahirkan arus-arus migrasi berikut kebudayaan
pada masanya.
· Neolitik adalah fase atau tingkat kebudayaan dalam zaman prasejarah yang
mempunyai ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan yang terbuat dari
batu yang telah diupam, pertanian menetap, dan pembuatan tembikar/gerabah.
· Peledang (ahli pembuatnya disebut atamole) digunakan oleh kelompok
masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen) yang masih
melakukan aktivitas penangkapan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari, dan
ikan hiu pada musim tertentu di perairan Laut Flores. Musim tersebut disebut
sebagai musim lefa. Kegiatan perburuan didahului dengan proses ritual (upacara
olanua) bagi pemberkatan peralatan dan seluruh anggota masyarakat. Aktivitas
dilakukan dengan menggunakan peralatan tradisional berupa peledang (perahu)
berbahan kayu, layar, tali (berbahan benang kapas, daun gebang, dan serat kulit
pohon waru), kafe (tempuling atau harpoon), faye (alat untuk mendayung), dan
sebagainya. Lamafa (juru tikam di laut) adalah sosok penting yang menentukan
obyek yang hendak ditombak/diburu, yang dihubungkan dengan upaya pelestarian
binatang buruan. Menyangkut hasil penangkapan/perburuan itu, para janda,
yatim-piatu, dan fakir miskin mendapat prioritas untuk menikmatinya. Tradisi
ini tampaknya memang telah berlangsung lama, dan itu dapat dihubungkan dengan
dijumpainya obyek arkeologis berupa lukisan perahu dan manusia di permukaan
bongkah batu andesit di Lamagute yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari
garis pantai Laut Flores. Perahu digambarkan dengan tiga tiang layar dan
dilengkapi 5 buah dayung. Bagian buritannya sudah tidak jelas tergambarkan.
Panjang lukisan perahu 60 cm, lebar 13 cm dengan panjang layar 53 cm, lebar
layar 22 cm, dan tinggi tiang layar 30 cm, yang tertera pada bongkah batu
andesit berukuran tinggi 3 meter dan lebar 3,5 meter (Atmosudiro,1984).
Kepustakaan
Atmosudiro, Sumijati. 1984. “Lukisan Manusia di Pulau
Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Praejarah)”, dalam Berkala
Arkeologi V (1), Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 1–8.
Batchelor, BC. 1977. “Post Hoabinhian Coastal Settlement
Indicated by Finds in Stanniferous Langat River Alluvium Near Dengkil,
Selangor, Peninsular Malaysia, dalam Federation Museums Journal, 22,
hal. 1–55.
Bellwood, P. 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian
Archipelago. Sydney, London: Academic Press.
Boechari. 1986. “New Investigation The Kedukan Bukit
Inscription”, dalam Untuk Bapak Guru, Jakarta: Puslit Arkenas, hal.
3–56.
Coedes, G. 1930. “Les Inscriptions Malaises de
Criwijaya”, dalam Bulletin de l‘Ecole Francaise d‘Extreme-Orient, 30,
hal. 29–80.
Dunn, FL. 1975. “Rain-forest Collectors and Traders. A
Study of Resource Utilisation in Modern and Ancient Malaya”, dalam Monographs
of the Malaysian Branch Royal Asiatic Society, No. 5.
Dunn, FL & DF Dunn. 1984. “Maritime Adaptations and
Exploitation of Marine Resource in Sundaic Southeast Asian Preshistory”, dalam
Pieter Van De Velde (ed.), Prehistoric Indonesia A Reader. Dordrecht,
Cinnaminson: Foris Publications, hal. 243–272.
Glover, IC. 1979. “The Late Prehistoric Period in Indonesia”,
dalam RB Smith & W Watson (eds.), Early South East Asia: Essays in
Archaeology, History and Historical Geography. New York, Kuala Lumpur:
Oxford University Press, hal. 167—184.
Hall, DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya:
Penerbit Usaha Nasional.
Heekeren, HR van. 1958. The Bronze-Iron Age of
Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Hornell, James. 1946. Watertransport, Origins and
Early Evolution. Cambridge: Cambridge University Press.
Koestoro, Lucas Partanda. 1993. “Tinggalan Perahu di
Sumatera Selatan: Perahu Sriwijaya?”, dalam Mindra Faizaliskandiar et.al.
(eds.). Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah.
Palembang: Pemda Dati I Sumatera Selatan.
_______1995. “Penempatan Situs-situs Bangkai Perahu
Indonesia dalam Sejarah Teknik Pembangunan Perahu di Asia Tenggara”, dalam
Hariani Santiko et.al. (des.). Kirana: Persembahan untuk Prof. DR. Haryati
Soebadio. Jakarta: Intermasa, hal. 203–216.
Lambert, David. 1987. Guide De L”Homme Prehistorique.
Paris: Librairie Larousse.
Lee, Everett S. 1995. Teori Migrasi. Alih bahasa
oleh Hans Daeng. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan.
Leur, van JC. 1955. Indonesian Trade and Society:
Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: W van Hoeve Ltd.
Lopa, Baharuddin. 1982. Hukum Laut, Pelayaran, dan
Perniagaan. Bandung: Alumni.
Manguin, Pierre-Yves. 1985. “Sewn-plank Craft of
Southeast Asia. A Preliminary Survey”, dalam S McGrail & E Kentley (eds.)
Sewn Planked Boats. Oxford: National Maritime Museum, hal. 319–343.
——————-. 1989. “The Trading ships of Insular Southeast.
Asia: New Evidence From Indonesian Archaeological Sites”, dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, Vol. I. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia, hal. 200–220.
Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi. 1987. “Perahu Karam
di Situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah Laporan Sementara”, dalam 10
Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dan Ecole Francaise
d‘Extreme-Orient. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 43–64.
Nontji, Anugerah. 1987. Laut Nusantara. Jakarta:
Djambatan.
Nooteboom, C, 1972. Sumatera dan Pelajaran di Samudera
Hindia. Alih bahasa oleh PS Kusumo Sutojo. Jakarta: Bhratara.
Peacock, BAV. 1965. “The drums of Kampong Sungai Lang”,
dalam Malaya in History, 10 (1).
Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology
Theories, Methods, And Practise. London: Thames and Hudson.
Selling, Eleanor, 1981. The Evolution of Trading State
in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada Columbia
University.
Wolters, OW, 1967. Early Indonesian Commerce. New
York, Ithaca: Cornel University Press
__________
Lucas Partanda Koestoro adalah
Peneliti pada Badan Arkeologi Medan
Baca Juga
Oleh Lucas Partanda Koestoro
Pendahuluan
Pada awalnya pengertian obyek arkeologi berkenaan dengan
peninggalan kebudayaan masa silam yang tidak berupa
keterangan-keterangan tertulis. Zaman dimaksud dibedakan dari zaman sejarah
karena ketiadaan keterangan tertulis, dan di bagian ini orang kerap mengartikan
bahwa arkeologi membatasi diri pada yang disebut zaman prasejarah. Walaupun
demikian, dari zaman sejarah kuno, zaman ketika telah dikenal adanya keterangan
tertulis, juga banyak peninggalan yang tidak berupa keterangan tertulis namun
tetap merupakan bukti penting dari kebesaran suatu kebudayaan. Keseluruhan
peninggalan itu memberikan bahan yang begitu besar bagi arkeologi.
Oleh karena itu arkeologi juga berlaku sebagai pemasok
bahan-bahan sejarah, dan cenderung semakin banyak bergerak di bidang sejarah
kuno. Bagian dari sejarah nusantara, sejak zaman prasejarah tentunya, masih
tergantung pada penelitian arkeologi. Arkeologi dipercaya dapat memberikan
bahan yang tidak mencukupi untuk menulis tentang sejarah namun memadai untuk
sekedar mengisi kekosongan bahan. Bukti arkeologis dapat bernilai lebih
dibanding dengan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dokumen tertulis. Oleh
karena itu wajar bila hasil kegiatan arkeologis dapat menimbulkan perubahan
dalam historiografi yang mendukung kemungkinan penulisan kembali sejarah
nusantara ke arah yang lebih obyektif.
Dalam sejarah Indonesia, abad ke-5 umumnya dianggap
sebagai berakhirnya masa prasejarah. Itu dihubungkan dengan penemuan bukti
arkeologis berupa prasasti di Pulau Kalimantan yang secara
paleografis diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5. Adapun berkenaan
dengan prasejarah moda transportasi air nusantara, bukti arkeologis dari Pulau
Sumatera memperlihatkan hal berikut.
Pengertian prasasti merujuk pada sumber sejarah yang
ditulis di atas batu atau logam dan kebanyakan dibuat atas perintah penguasa
suatu daerah. Umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu
daerah sebagai sima, daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat
tertentu yang telah berjasa atau anugerah raja untuk pemeliharaan bangunan suci
tertentu. Sejumlah kecil prasasti merupakan salinan keputusan pengadilan, yang
biasa dinamai jayapattra.
Adapun prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 1920 (Coedes,1930;
Boechari,1986), membuka pertulisannya dengan: “….. Pada tahun Saka 605, hari
kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik perahu (nayik di samwau
) untuk mencari kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Yjestha, raja
membebaskan diri dari …..” dan seterusnya.
Dalam kaitannya dengan topik pembicaraan kali ini, maka prasasti Kedukan Bukit merupakan sumber informasi
menyangkut sebuah tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita mengenai
moda transportasi air nusantara. Esensinya tidak tergantung dari peristiwa yang
dicatat, bahwa pada suatu ketika sang raja memimpin bala tentara yang terdiri
dari sekian ribu orang untuk membangun Sriwijaya. Pentingnya tanggal, bulan,
dan tahun dalam catatan itu karena merupakan tanggal yang paling tua mengenai
penyebutan perahu dalam bahasa Melayu Kuno, sehingga menjadi tonggak yang
mengawali sejarah perahu nusantara.
Oleh karena prasasti tersebut menyatakan tentang tahun
683 (yakni tahun Saka 605), maka sejauh ada kaitannya dengan penyebutan perahu
dalam berbagai sumber tertulis, zaman sebelum tahun 683 merupakan prasejarah
dari moda transportasi air nusantara. Berkenaan dengan kurun waktu prasejarah
itu banyak pertanyaan penting mengenai keberadaan perahu yang tidak dapat
dijawab dengan pasti. Pertanyaan-pertanyaan dimaksud antara lain tentang proses
pembudayaannya, luas kawasan yang memanfaatkan perahu, atau pertanyaan lain
yang menuntut jawab tentang kekhususan pemakaian perahu tadi bagi kalangan
tertentu dan maksud-maksud khusus. Ini berhubungan pula dengan pertanyaan lain
yang mempersilakan pengajuan jawaban dengan mengemukakan logika, perbandingan,
dan pendugaan, yang semuanya bersifat hipotetis.
Walaupun disadari bahwa prasasti merupakan sumber
tertulis yang amat terpercaya, kita tetap perlu memaklumi ketidaksanggupannya
menyampaikan informasi utuh mengenai perahu mengingat isi pertulisannya
terbatas pada hal-hal bersifat resmi. Oleh karena itu membicarakan perahu
nusantara yang berasal dari masa sebelum tahun 683, selain melalui sisa
bangkainya, seyogyanya mengandalkan sumber-sumber lain nusantara maupun
sumber-sumber lain yang berasal dari luar.
Harus juga diketahui bahwa tidak semua sumber-sumber
luar/asing yang ada sangkutpautnya dengan nusantara, hanya sumber-sumber
tertentu – antara lain dari Cina – ada gunanya. Contoh yang cukup baik ialah
sumber yang menceritakan ketika I-Tsing pada tahun 672, setelah tinggal cukup
lama di Palembang, meneruskan perjalanan ke India menaiki perahu seorang raja
Sumatera. Hal ini jelas menunjukkan adanya pelayaran yang dilakukan oleh orang
Sumatera di Samudera Hindia pada abad-abad itu. Indikasi tersebut juga
dipertegas oleh penafsiran dari Pierre Paris (Nooteboom,1972) berdasarkan
sumber luar nusantara lainnya, yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 SM maupun
pada abad pertama Masehi telah ada aktivitas pelayaran menggunakan
perahu-perahu (bercadik) dari Sumatera ke India. Selain itu Groeneveld (1960)
juga mencatat adanya berita Cina yang menceritakan hubungan dengan Jawa sejak
abad ke-5, dan dengan Sumatera pada awal abad ke-6 yakni pada masa pemerintahan
dinasti Liang (502–556).
Pembudayaan Moda Transportasi Air
Nusantara
Diskusi menyangkut prasejarah sarana transportasi air
mengingatkan kita untuk menjenguk rekonstruksi hipotetis yang dikemukakan oleh
FL Dunn (1975). Disebutkannya bahwa sekitar 20.000 SM, pada saat Semenanjung
Malaya bersatu dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indocina,
hunter-fisher-gatherers sebagai mata pencaharian penduduknya didukung budaya
alat batu yang pre-Hoabinhian. Belum adanya effective sea-faring menyebabkan
belum dikenalnya maritime trade antara Paparan Sunda dan tempat lain. Transaksi
pertukaran ketika itu masih sangat terbatas, dengan dasar dari bentuk
pertukaran masih berupa simple gift giving (pertukaran sederhana), atau barter
antara masyarakat pengumpul (collector) dan pedagang hulu (primary traders).
Kita dapat mensejajarkan gambaran tersebut dengan hasil
penelitian FL Dunn dan DF Dunn (1984) yang mengemukakan bahwa ketika itu
teknologi pelayaran masih sangat terbatas sehingga baru rakit saja yang
dikenal. Mengingat keterbatasan perkembangan pengetahuan navigasinya²,
eksploitasi sumber makanan di tepian pantai dilakukan secara sederhana dengan
mengutamakan pencarian kerang.
Berkenaan dengan pembudayaan rakit sebagai moda
transportasi air, kemunculannya bermula melalui batang kayu-batang kayu atau
bambu yang diikat menjadi satu secara horizontal. Selanjutnya dilakukan
penambahan jumlah lapisan horizontal batang kayu atau bambunya yang menyebabkan
daya apung dan daya muatnya bertambah besar.
Kemudian ketika Semenanjung Malaya telah terpisah dari
daerah sekitarnya di Asia Tenggara, sekitar 10.000 SM atau akhir Pleistosen,
penghidupan masyarakatnya mungkin berbasiskan pada perburuan, penangkapan ikan,
dan meramu dengan tambahan, tetapi tidak begitu intensif, bertanam umbi-umbian
dan tanaman lain (Dunn,1975). Perahu dan rakit dimanfaatkan dalam penjelajahan
rawa dan hutan bakau untuk memperoleh bahan makanan. Adanya peningkatan pengetahuan
navigasi memungkinkan dilakukannya pelayaran, walaupun amat terbatas, di laut
terbuka. Keadaan yang demikian itu juga ikut menentukan laju penjelajahan
wilayah baru untuk dieskploitasi (Dunn & Dunn,1984). Hipotesa mengenai
perdagangan menyatakan bahwa maritime trade hampir tidak ada, kecuali mungkin
hanya sebagai sebuah konsekuensi dari beberapa perjalanan perahu di sepanjang
pantai secara kecil-kecilan. Internal trading masih tetap yang utama namun
frekuensi dari coastal inland trading telah bertambah/meningkat (Dunn,1975).
Membandingkannya dengan kondisi di tempat lain, di Eropa,
mesolitik – masa peralihan dalam zaman batu, antara paleolitik (zaman batu tua)
dan neolitik (zaman batu baru) – berlangsung antara 10.000 tahun sampai 5.000
tahun sebelum masehi. Bukti adanya penggunaan moda transportasi air saat itu
diperlihatkan melalui penemuan sebuah perahu lesung (dug-out canoe) dengan
haluan yang masih papak. Selain itu, melalui sisa kerang yang banyak diperoleh
dalam berbagai kegiatan arkeologis di sepanjang pantai Samudera Atlantik dan
Laut Utara, dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya mesolitik itu
mengkonsumsi kerang dalam jumlah yang cukup besar (Lambert,1987). Adapun perahu
lesung tertua yang ditemukan di Pesse, Belanda, berdasarkan analisis
pertanggalan radiokarbon diketahui berasal dari sekitar 6315 SM
(Johnstone,1980).
Selanjutnya, di sekitar 5.000–4.000 SM, internal trading
terus berlanjut seperti saat sebelumnya tetapi perdagangan pantai-pedalaman
berkembang sampai pada bentuk perdagangan eksternal. Kemungkinan maritime trade
juga telah dimulai pada masa itu sebagai konsekuensi dari ekspansi yang
demikian cepat dalam pelayaran laut di kawasan kepulauan Asia Tenggara
(Dunn,1975). Diperkirakan teknologi pembangunan perahu telah berkembang
sedemikian rupa sehingga memungkinkan dilakukannya pelayaran laut terbuka
dengan lebih baik. Penggunaan cadik³ telah dikenal seperti halnya pemanfaatan
layar sederhana yang memungkinkan penangkapan ikan maupun bahan makanan lain di
perairan yang cukup jauh dari garis pantai (Dunn & Dunn,1984).
Dalam pembudayaan perahu, kita dapat mengatakan bahwa
melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, perkembangan perahu lesung telah
menghasilkan perahu papan (planked boat). Evolusinya dimulai dari proses penambahan
papan pada kedua dinding/sisi perahu lesung untuk meningkatkan kemampuan apung
serta daya muat yang lebih besar. Kebutuhan akan alat transportasi air yang
lebih besar untuk memuat beban lebih banyak menyebabkan dibangunnya perahu yang
lebih besar.
Erat kaitannya dengan hipotesa yang dikemukakan di atas,
keberadaan cadik pada perahu nusantara juga telah memunculkan pembicaraan
atasnya. Pendapat mengenai asal-usul cadik pada perahu nusantara telah
dikemukakan oleh Heine-Geldern (1932). Pengembangannya oleh Hornell (1946) juga
sampai pada kesimpulan bahwa hal itu memang terjadi di pantai-pantai Asia
Tenggara. Berdasarkan hal itu Nooteboom (1972) berpendapat bahwa lebih tepat
bila dikatakan kemunculan cadik-cadik itu terjadi di perairan muka pantai Asia
Tenggara serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat
Indonesia. Bahwa masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan
perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur, menyebabkan
hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda, pengapung yang
dipasang di kedua sisi perahu. Ujudnya seperti yang sekarang disebut jukung di
Bali, atau londe di Sulawesi Utara. Namun ketika pelaut-pelaut tadi sampai di
perairan yang lebih besar, yakni Samudera Pasifik, kelengkapan itu dianggap
membahayakan. Hornell mengemukakan bahwa ketika itulah diputuskan untuk hanya
menggunakan cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan
perahu-perahu bercadik tunggal.
Keberadaan perahu sebagai sarana transportasi air di
nusantara tentu dapat dikaitkan dengan migrasi penduduk dan penyebaran bahasa4.
Dalam beberapa hipotesa yang pernah dikemukakan untuk menerangkan migrasi
penduduk berbahasa Austronesia di kepulauan Asia Tenggara, Pasifik, bahkan
Madagaskar, sebagian yang dikerjakan dalam navigasi amat esensial. Dalam teori
yang disimpulkan oleh Glover (1979), ekspansi kebudayaan kapak persegi yang
menandai awal masa neolitik berlangsung dari utara Asia Tenggara di sekitar
Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya. Ketika itu berkembang pula rice
culture, pendomestikan babi dan kerbau, perahu bercadik, bahasa Austronesia,
dan pakaian kulit kayu.
Setelah itu, Bellwood (1985) melalui penggunaan data baru
yang dilengkapi dengan linguistik prehistorik dan dating sisa arkeologis
memberikan interpretasi lain tentang awal kebudayaan Austronesia. Taiwan di
sekitar 4.000 SM, atau sebelumnya, sudah dihuni manusia Austronesia. Sebagian
daripadanya bermigrasi ke Luzon melalui jalan laut untuk kemudian menyebar ke
seluruh Philipina pada sekitar 3.000 SM. Dari sana, sebagian berangkat ke
Maluku, dan yang lainnya ke Sulawesi dan sekitar bagian barat Indonesia serta
Semenanjung Malaya melalui Palawan. Seluruh migrasi yang berakhir pada kurun
waktu antara 2.000 — 500 SM itu dilakukan dengan menggunakan perahu.
Masuk dalam pembicaraan tentang sarana transportasi air
untuk masa yang teramat tua dari sejarah navigasi di Asia Tenggara ini, memang
belum didukung oleh bukti arkeologis yang langsung, dalam bentuk situs bangkai
perahu yang utuh. Di Kampung Sungai Lang, Banting, Selangor, sepasang nekara
telah dijumpai tertanam di atas sekeping papan perahu, dan dating atas papan
itu telah memberi usia sekitar abad V SM (Peacock,1965). Adapun situs yang
lebih kuno yang menghasilkan elemen pembentukan perahu prehistorik dijumpai di
Semenanjung Malaya di tepi Sungai Langat di dekat Kampung Jenderam Hilir, di
Selangor, Malaysia. Ini berkenaan dengan keberadaan sebuah dayung, bersama-sama
dengan peralatan neolitik5 yang memungkinkan diperolehnya data kalibrasi yang menunjukkan
sekitar abad VI SM (Batchelor,1977).
Memang harus diterima bahwa penemuan dayung tersebut
belum dapat menunjukkan apakah ketika itu juga telah digunakan perahu papan.
Sebagaimana diketahui, dua jenis perahu yang dikenal, masing-masing adalah perahu
lesung (dug-out canoe) dan perahu papan (planked boat) sama-sama dapat
menggunakan dayung sebagai tenaga penggeraknya. Namun keberadaan sekeping papan
perahu di Kampung Sungai Lang telah membuktikan bahwa setidak-tidaknya pada
abad V SM telah dikenal teknologi pembangunan perahu papan.
Adapun untuk masa yang lebih kemudian, keberadaan perahu
nusantara menjadi semakin jelas melalui kegiatan arkeologis atas beberapa situs
bangkai perahu di seputar Laut Cina Selatan (yang dalam berbagai kesempatan dan
konteks pantas disebut Laut Tengah/Mediterania-nya Asia).
Berikut ini adalah keterangan singkatnya.
1. Kuala Pontian
Pada situs di pantai timur Pahang, Malaysia ini ditemukan
tiga buah papan, sebuah lunas, dan beberapa gading-gading. Ukuran terpanjang
6,1 meter. Papan-papannya disatukan dengan ikatan tali ijuk melalui
lubang-lubang di tepian papan. Di tepian papan juga terdapat lubang-lubang
tempat menanam pasak. Untuk menyatukan papan dengan gading-gading, digunakan
tali ijuk melalui tambuko – tonjolan pada papan yang sengaja dipahat dengan
bentuk dasar persegi empat – yang bentuknya membulat (Evans,1927). Carbon
dating menghasilkan titimangsa antara tahun 260–430 (Booth,1984).
2. Butuan
Di muara sungai Butuan di Ambangan, Butuan City,
Filipina, dijumpai sisa bangkai dua buah perahu. Bangkai perahu pertama
merupakan sisa sebuah perahu berukuran 11,6 meter. Papan-papan pembentuknya
dikerjakan dengan cara dipahat. Selain pemanfaatan tambuko untuk penyatuan
lunas dan papan badan perahu, digunakan pula pasak. Dating dengan metode C14
menunjukkan bahwa perahu itu berasal dari abad III–V. Adapun mengenai perahu
kedua, walaupun ukurannya lebih besar namun menggunakan teknik pembangunan yang
sama. Papan-papannya memiliki ukuran panjang 15 meter dengan lebar sekitar 20
cm dan tebal 3 cm.
3. Kolam Pinisi
Pada situs di bagian barat kota Palembang ini terdapat
sisa struktur sebuah perahu yang berukuran besar. Lebih dari enampuluh keping
badan dan lunas perahu yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong-potong dengan
ukuran maksimum hanya 2,5 meter. Tebalnya sekitar 5 cm, dengan lebar antara
20–30 cm. Seluruh papan-papan memiliki tambuko pada permukaannya. Lubang-lubang
untuk memasukkan talididapati tidak hanya pada tambuko saja tetapi juga pada
bagian tepi papan. Ini menunjukkan bahwa teknik ikat digunakan untuk menyatukan
tidak saja papan pembentuk badan perahu melainkan pula papan badan perahu
dengan gading-gading. Adapun lubang-lubang untuk menempatkan pasak pada bagian
tepi papan menunjukkan bahwa pasak kayu telah digunakan untuk memperkuat
penyatuan badan perahu. Perolehan data kalibrasi melalui pemanfaatan metode
C-14 atas sampel papan perahu itu menunjukkan angka tahun 434–631 Masehi
(Manguin,1989).
4. Tulung Selapan
Tali ijuk, pasak, tambuko, dan ketebalan papan-papannya,
mengindikasikan keberadaan perahu kuno yang menggunakan teknik ikat. Ukuran
perahu di pesisir timur Sumatera Selatan ini tidak berkisar jauh dari ukuran
perahu-perahu lain yang sebelumnya telah lebih dahulu ditemukan kembali di
wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dugaan kronologinya lebih mengacu pada
kolompok perahu dari abad-abad V–VIII.
5. TPKS Karanganyar
Beberapa potong papan sisa badan perahu telah ditemukan
di areaI Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang. Ketebalannya 3 cm
dengan jarak lubang untuk memasukkan tali ijuk adalah 3 cm, dan jarak lubang
untuk pasak kayu sekitar 11 cm. Untuk sementara berkenaan dengan teknologi
pembangunannya, sisa bangkai perahu itu digolongkan ke dalam kelompok abad
V–VIII.
6. Sambirejo
Pada situs di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera
Selatan ini dijumpai 11 keping papan yang merupakan bagian badan perahu. Ukuran
terpanjang papan-papan tersebut adalah 10,9 meter dan yang terpendek 4 meter.
Ketebalan rata-rata 3,5 cm dengan lebar 23 cm. Untuk Menyatukan papan-papan
tersebut, selain pasak juga digunakan tali ijuk. Penggunaan pasak tampak dari
lubang-lubang di tepian papan serta pasak yang masih tertanam di dalamnya.
Pemanfaatan tali ijuk tampak jelas dari adanya tambuko dengan lubang-lubang untuk
memasakkan tali ijuk. Tali ijuk tersebut masih dijumpai pada sebagian papan
ber-tambuko itu. Bersamaan dengan papan-papan tersebut, dijumpai pula sebuah
kemudi kayu berukuran panjang 5,9 meter dengan bagian terlebarnya 56 cm.
Pengamatan atas temuan tersebut menghasilkan dugaan bahwa
kesebelas papan tersebut tidak berasal hanya dari sebuah perahu saja, melainkan
tiga. Delapan papan berasal dari sebuah perahu yang panjangnya diperkirakan
20–23 meter dengan bagian terlebar mencapai 6 meter. Dua papan berikutnya
menunjukkan keberadaan sebuah perahu lain yang berdasarkan analisis C-14
diketahui berasal antara tahun 610 sampai tahun 775. Dugaan tentang perahu
ketiga diperoleh dari keberadaan papan lain yang ditemukan bersama
(Manguin,1989).
Arkeologi dan Teknologi
Pembangunan Perahu Nusantara
Upaya perekonstruksian peristiwa masa lalu serta uraian
sejarahnya, didasarkan atas sumber informasi yang berupa bukti peninggalan
peristiwa itu sendiri. Ujudnya dapat berupa dokumen tertulis maupun sisa benda
budaya. Oleh karena itu keliru bila membayangkan bahwa arkeologi hanya kecil
kontribusinya tentang apa yang sudah diketahui dari catatan sejarah. Untuk
periode prasejarah yang jelas tidak ada catatannya, dan kadang-kadang dalam
periode sejarah dimana banyak kesenjangan tentang pengetahuan peristiwa di
dalamnya, di sanalah arkeologi membantu melengkapinya. Pada beberapa
kesempatan, sumber terkaya dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah itu
diperoleh melalui sisa bangkai perahu yang “terpelihara” dalam lingkungan di
mana obyek tersebut berada yang berhasil diliput melalui kerja arkeologi
maritim (Renfrew & Bahn,1991).
Informasi dari data yang diperoleh melalui kegiatan
arkeologi maritim selama ini, secara garis besar memperlihatkan bahwa teknologi
pembangunan perahu nusantara (di luar jenis yang disebut dengan dug-out canoe
atau perahu lesung, yang dibuat hanya dari sebatang pohon saja) menggunakan a.
teknik Ikat; b. teknik gabungan ikat dan pasak; c. teknik pasak; serta d.
teknik lain. Patut dicatat pula bahwa pengelompokkan teknologi pembangunan
perahu ini dapat dikaitkan dengan aspek kronologinya.
1. Teknik ikat
Teknik ikat rnurni memang belum dijumpai bukti
arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas atas data yang menginformasikan
keberadaan pemanfaatan teknik ikat yang bercampur dengan pemanfaatan pasak,
namun teknik ikatnya sendiri tetap mendominasi pembentukan badan perahu.
Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Sementara catatan
etnografis membantu pengenalan teknologi tua tadi seperti yang masih terlihat
pada perahu penangkap ikan paus (peledang)6 di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa
Tenggara Timur; maupun perahu berteknik ikat di Pulau Hainan (Vietnam) dan
Pilipina.
2. Teknik Gabungan Ikat dan Pasak
Bukti yang diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu
di Sumatera Selatan (Sambirejo; Kolam Pinisi; Tulung Selapan; TPKS Karanganyar)
memperlihatkan bahwa teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak
kayu. Ini tercerrnin dengan semakin dekatnya jarak antara lubang-lubang untuk memasukkan
pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya. Artinya pasak kayu tidak lagi
berfungsi hanya sebagai sarana pembantu memperkokoh sambungan tetapi justru
merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara
kronologis, inilah tipe perahu dari antara abad ke-5 hingga abad ke-8.
Berkaitan dengan itu, kita juga dapat mengatakan bahwa upaya pengenalan akan
model perahu yang digunakan pada zaman Sriwijaya tampaknya layak mengacu ke
sana (Koestoro,1993).
3. Teknik Pasak
Walaupun bukti arkeologisnya belum dijumpai, sumber
Portugis abad ke-16 mendeskripsikan tentang jung berteknik pasak berkapasitas
hingga 500 ton. Dalam perahu yang bertradisi Asia Tenggara itu tidak dikenal
pemakaian simpul tali atau paku. Pemanfaatan teknik pasak demikian itu terus
berlanjut hingga beberapa waktu berselang, sebagaimana terlihat dalam
pembangunan perahu pinisi di Sulawesi dan lete di Madura.
4 . Teknik Lain
Selain yang telah disebut di atas, dikenal pula adanya
teknik lain dalam pembangunan perahu, yakni teknik jahit dan teknik paku. Kedua
,jenis teknik tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai, yakni di sekitar
Samudera Hindia dan di Cina (Utara). Sayang sekali belum ada penemuan atas
situs-situs bangkai perahu yang memanfatkan teknik pembangunan yang demikian di
nusantara.
Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara
Bukti arkeologis berupa nekara – gendang besar dari
perunggu berhiaskan gambar perahu, orang menari, topeng, dan sebagainya sebagai
peninggalan dari zaman perunggu yang dipergunakan dalam upacara ritual – yang
dijumpai di beberapa tempat di wilayah nusantara, seperti di Dieng (Jawa), Pulau
Selayar, Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur), atau di Pulau Roti (juga di Nusa
Tenggara Timur) memperlihatkan bahwa pelayaran telah berlangsung sejak masa
yang silam. Aktivitas pelayaran itu juga sejalan dengan perdagangan yang
dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara nusantara dengan daratan Asia.
Tukar-menukar tentunya menjadi cara perdagangan ketika
itu. Nekara sebagai salah satu produk masyarakat prasejarah memiliki nilai
tersendiri pada masyarakat pendukung budayanya. Bahwa benda-benda tersebut kebanyakan
dihasilkan di daratan Asia, keberadaannya di nusantara yang jauh dari tempat
asalnya merupakan buah dari perdagangan yang berlangsung. Walaupun tidak ada
keterangan tertulis mengenai itu, analisis tipologis yang diberlakukan atas
obyek-obyek prasejarah itu memperlihatkan kronologi yang cukup tua. Kita dapat
membayangkannya dengan mengetahui bahwa di Asia Tenggara logam mulai dikenal
sekitar 3.000–2.000 tahun SM. Adapun di Indonesia penggunaan logam diketahui
pada masa beberapa abad sebelum masehi.
Kemudian untuk masa yang lebih kemudian, setiap kali ada
sumber tertulis tentang sea-faring Indonesia di Samudera Indonesia, ternyata
bahwa itu berasal dari daerah paling barat dari Indonesia, yakni Sumatera atau
daerah yang berdekatan. Sumatera, bersama pulau-pulau kecil didekatnya dan
pantai barat Semenanjung Malaya, memang penting sekali artinya bagi pelayaran
di Samudera Indonesia. Rute laut yang menghubungkan daerah kebudayaan yang
besar dan tua dari Asia Selatan dan Asia Timur tentu melalui kawasan tersebut
(Nooteboom,1972).
Penduduk Sumatera, yang berada di ujung barat nusantara
telah melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India sejak abad ke-5
dan ke-6. Kemenyan dan kapur barus adalah sebagian produk yang menjadi komoditi
untuk memenuhi kebutuhan pedagang Arab, Persia, dan Cina (Selling,1981).
Sebagian ahli juga sepakat bahwa sejak abad ke-7, secara teratur pedagang Arab
yang kebanyakan datang dari India berlayar ke kawasan Asia Tenggara.
Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukannya di nusantara, malahan
mencapai Cina sebelah selatan. Adapun komoditi yang diperlukan adalah lada,
rempah-rempah, dan kayu wangi (Hall,1988).
Keterangan yang demikian selayaknya diterima mengingat
besarnya jumlah situs bangkai perahu di Sumatera. Sebagian besar daripadanya
memang cukup layak untuk digunakan sebagai perahu niaga yang laik layar di
perairan terbuka. Kronologinyapun mengacu pada masa-masa pra-keindiaan
nusantara.
Berkenaan dengan itu tampaknya tidak keliru bila kita
sepakat dengan Van Leur (1955) dan Wolters (1967) yang berpendapat bila
hubungan dagang antara Indonesia dan India lebih dahulu berkembang daripada
hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Hubungan tersebut tentunya telah
lama terjadi sebelum hal itu disinggung dalam catatan sejarah. Salah satu
sebabnya mungkin karena pelayaran dan perdagangan India lebih bebas dilakukan
para saudagarnya dibandingkan dengan Cina yang cenderung terbatas akibat
ketatnya pengawasan pihak penguasa/rajanya.
Hal lain yang juga patut disimak adalah kenyataan bahwa
pengaruh India dan Cina pada perkembangan sejarah Indonesia di zaman kuno cukup
berbeda. Dampak dari luasnya hubungan dagang dengan India ada lahirnya
perubahan-perubahan dalam bentuk tata negara di sebagian daerah Indonesia.
Demikian pula dengan perubahan dalam tata dan susunan masyarakatnya sebagai
akibat tersebarnya agama Buddha dan Hindu. Hal semacam ini tidak tampak bila
dikenakan pada hubungan antara Indonesia dengan Cina.
Patut digarisbawahi adalah pendapat Nooteboom (1972),
bahwa dahulu penguasa-penguasa nusantara-lah yang mendatangkan Brahmana dari
India untuk memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya serta untuk lebih
mengukuhkan kekuasaan dan pamornya. Kemungkinan ini lebih besar bila memang ada
pelayaran Indonesia sendiri ke India. Dan tentu pendapat ini berbeda dengan
teori lain yang menyatakan terjadinya semacam bentuk kolonisasi/penjajahan oleh
India atas bumi nusantara, karena bila pendudukan India pada waktu itu memang
betul terjadi sudah pasti aktivitas pelayaran Indonesia tidak dapat berkembang
dengan baik.
Penutup
Itulah sebagian yang dapat dibayangkan mengenai
prasejarah perahu nusantara berdasarkan situs bangkai perahu dan sumber
tertulis yang relatif terbatas jumlahnya. Bila akhirnya sebuah prasasti
berangka tahun 683 muncul di atas panggung sejarah, maka ketika itulah kita
berjumpa dengan sebuah kata untuk perahu dalam bahasa Melayu Kuno, suatu bahasa
yang telah melampaui perkembangan berabad-abad lamanya. Tonggak ini pula yang
membawa kita untuk masuk pada zaman sejarah perahu nusantara.
Sekilas tentang dinamika yang dijumpai dalam lintas
sejarah kemaritiman nusantara, menyangkut pula aspek teknologinya. Bahwa
pemanfaatan teknik pembangunan perahu mengalami perkembangan, tentunya
berkenaan tidak saja dengan pemenuhan kebutuhan melalui kemampuan yang dimiliki
melainkan pula didorong oleh bentuk-bentuk komunikasi budaya dan antar bangsa
yang merambahinya.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan tentu tidak
boleh mengabaikan penelitian sejarah maritimnya. Harus ada kesadaran bahwa
wawasan bahari tidak hanya diperlukan untuk zaman yang lampau yang kita sebut
pula dengan zaman bahari, melainkan sangat penting bagi eksistensi dan
kelangsungan hidup suatu negara kepulauan. Bagaimanapun juga, pengaruh daripada
kekuatan laut kepada jalannya sejarah manusia, termasuk sejarah Kepulauan
Indonesia, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Pengkajian atas obyek arkeologi dan sejarah berpotensi
untuk memperlihatkan bahwa kemampuan berlayar perahu-perahu nusantara dengan
jalur-jalur pelayarannya membuktikan bahwa sejak dahulu bangsa-bangsa di
nusantara telah memiliki pengetahuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar
ke mana saja mengarungi samdera yang luas. Ini juga mempertegas pemahaman kita
akan adanya kondisi yang kelak menghasilkan pemberlakuan hukum/peraturan dalam
pelayaran dan perdagangan yang memungkinkan aktivitas-aktivitas itu berjalan
pesat dan tertib.
Jelas masih banyak yang harus dikerjakan untuk memperoleh
gambaran utuh rekonstruksi kehidupan masyarakat bahari nusantara sejak dahulu
kala. Semua aspek perlu diketahui dengan baik dalam upaya penyusunan uraian
sejarah bangsa. Disadari bahwa sejarah memang bukan sekedar kumpulan fakta atau
pencarian berbagai akibat dari peristiwa masa lalu untuk masa selanjutnya saja,
namun terlebih dari itu dapat memberikan keluaran konkrit bagi masyarakat untuk
menyikapi benang merah yang menghubungkan fakta masa lalu dengan peristiwa
sejenis yang (cenderung) terulang. Dan menutup kepingan kerja sederhana ini,
yang membicarakan soal pemahaman dan penafsiran subyektif relatif atas
informasi yang tersedia, kami membuka diri bagi pandangan dan gagasan
alternatif yang memungkinkan penyempurnaannya.
Catatan
· Ini berkenaan dengan temuan di Muarakaman, Kutai, di bagian baratlaut Kota
Samarinda, Kalimantan Timur berupa tujuh buah yupa–tiang batu yang apabila
ditegakkan pada sebuah tempat upacara persembahan agama Siwa merupakan sarana
untuk menambatkan tali pengikat hewan kurban – berisi inskripsi beraksara
Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja
Mulawarman yang menyebut tentang kakeknya yang bernama Kundunga, dan ayahnya
yang bernama Aswawarman yang dikatakan sebagai pendiri dinasti.
· Pengertian navigasi berkenaan dengan pengetahuan untuk
menjalankan/melayarkan perahu dari satu tempat ke tempat yang lain. Masuk di
dalamnya adalah pengertian hal-hal yang perlu diketahui agar pelayaran berjalan
lancar. Navigasi tradisional umumnya hanya bersumber pada pengalaman, tradisi,
naluri, dan kepekaan terhadap alam sekitar. Secara tradisional, pengetahuan
navigasi meliputi antara lain menentukan posisi dan mengenal arah/haluan yang
harus dituju (piloting) (Lopa,1982). Pengertian di atas juga berkenaan dengan
cuaca, karena interaksi yang erat terjadi antara udara dan laut. Perubahan
cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, karena angin misalnya, sebagai salah satu
unsur meteorologi yang penting dalam masalah kelautan, menentukan terjadinya
gelombang dan arus. Beruntung bahwa di Indonesia pada umumnya jarang terjadi
angin yang sangat kuat. Berbeda dengan di kawasan samudera di sekitar 100 LU
dan juga sekitar 100 LS dimana badai yang lebih dikenal dengan siklon tropis
sering mengamuk (Nontji,1987). Masih berkenaan dengan angin, pola angin yang
sangat berperan di Indonesia adalah angin rnusim (monsoon). Angin musim bertiup
secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, dan pada periode lainnya
bertiup dengan arah yang berlainan. Mengingat posisi geografisnya, kawasan
Indonesia paling ideal untuk berkembangnya angin musim. Pada Musim Barat,
ketika angin berhembus dari Asia ke Australia, para pelaut menaikkan layar
meninggalkan pelabuhan di Jawa menuju Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Kemudian mereka kembali ke pangkalannya dengan memanfatkan angin Musim Timur
(Nontji,1987). Di beberapa tempat, disebutkan pula nama lain untuk istilah
angin Musim Timur, seperti “angin pedewakang” di daerah Riau (Kepulauan) karena
pada masa itulah mereka melihat iring-iringan ”pedewakang” (bentuk yang “lebih
tua” dari perahu pinisi ) membanjiri kawasan perairan sekitarnya menuju ke
Singapura.
· Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di
kiri kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar
tidak mudah terbalik.
· Besarnya arus migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang
antara. Hipotesis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Lee (1995),
memperlihatkan bahwa salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan
bermigrasi adalah adanya penghalang antara, sehingga, misalnya, ketika pada
abad ke-17 dan ke-18 pelayaran ke Amerika masih merupakan pekerjaan yang
berbahaya dan tidak mudah dikerjakan, arus migrasi sedikit sekali. Sebaliknya,
contoh lain dalam sejarah membuktikan bahwa dengan terhapusnya
penghalang-penghalang tersebut memunculkan arus-arus migrasi. Sehingga tidak
mengherankan apabila perkembangan teknologi pembangunan perahu dan pengetahuan
navigasi pada sebagian bangsa berbahasa Austronesia di Asia Tenggara, merupakan
sarana mengatasi kesulitan yang melahirkan arus-arus migrasi berikut kebudayaan
pada masanya.
· Neolitik adalah fase atau tingkat kebudayaan dalam zaman prasejarah yang
mempunyai ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan yang terbuat dari
batu yang telah diupam, pertanian menetap, dan pembuatan tembikar/gerabah.
· Peledang (ahli pembuatnya disebut atamole) digunakan oleh kelompok
masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen) yang masih
melakukan aktivitas penangkapan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari, dan
ikan hiu pada musim tertentu di perairan Laut Flores. Musim tersebut disebut
sebagai musim lefa. Kegiatan perburuan didahului dengan proses ritual (upacara
olanua) bagi pemberkatan peralatan dan seluruh anggota masyarakat. Aktivitas
dilakukan dengan menggunakan peralatan tradisional berupa peledang (perahu)
berbahan kayu, layar, tali (berbahan benang kapas, daun gebang, dan serat kulit
pohon waru), kafe (tempuling atau harpoon), faye (alat untuk mendayung), dan
sebagainya. Lamafa (juru tikam di laut) adalah sosok penting yang menentukan
obyek yang hendak ditombak/diburu, yang dihubungkan dengan upaya pelestarian
binatang buruan. Menyangkut hasil penangkapan/perburuan itu, para janda,
yatim-piatu, dan fakir miskin mendapat prioritas untuk menikmatinya. Tradisi
ini tampaknya memang telah berlangsung lama, dan itu dapat dihubungkan dengan
dijumpainya obyek arkeologis berupa lukisan perahu dan manusia di permukaan
bongkah batu andesit di Lamagute yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari
garis pantai Laut Flores. Perahu digambarkan dengan tiga tiang layar dan
dilengkapi 5 buah dayung. Bagian buritannya sudah tidak jelas tergambarkan.
Panjang lukisan perahu 60 cm, lebar 13 cm dengan panjang layar 53 cm, lebar
layar 22 cm, dan tinggi tiang layar 30 cm, yang tertera pada bongkah batu
andesit berukuran tinggi 3 meter dan lebar 3,5 meter (Atmosudiro,1984).
Kepustakaan
Atmosudiro, Sumijati. 1984. “Lukisan Manusia di Pulau
Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Praejarah)”, dalam Berkala
Arkeologi V (1), Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 1–8.
Batchelor, BC. 1977. “Post Hoabinhian Coastal Settlement
Indicated by Finds in Stanniferous Langat River Alluvium Near Dengkil,
Selangor, Peninsular Malaysia, dalam Federation Museums Journal, 22,
hal. 1–55.
Bellwood, P. 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian
Archipelago. Sydney, London: Academic Press.
Boechari. 1986. “New Investigation The Kedukan Bukit
Inscription”, dalam Untuk Bapak Guru, Jakarta: Puslit Arkenas, hal.
3–56.
Coedes, G. 1930. “Les Inscriptions Malaises de
Criwijaya”, dalam Bulletin de l‘Ecole Francaise d‘Extreme-Orient, 30,
hal. 29–80.
Dunn, FL. 1975. “Rain-forest Collectors and Traders. A
Study of Resource Utilisation in Modern and Ancient Malaya”, dalam Monographs
of the Malaysian Branch Royal Asiatic Society, No. 5.
Dunn, FL & DF Dunn. 1984. “Maritime Adaptations and
Exploitation of Marine Resource in Sundaic Southeast Asian Preshistory”, dalam
Pieter Van De Velde (ed.), Prehistoric Indonesia A Reader. Dordrecht,
Cinnaminson: Foris Publications, hal. 243–272.
Glover, IC. 1979. “The Late Prehistoric Period in Indonesia”,
dalam RB Smith & W Watson (eds.), Early South East Asia: Essays in
Archaeology, History and Historical Geography. New York, Kuala Lumpur:
Oxford University Press, hal. 167—184.
Hall, DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya:
Penerbit Usaha Nasional.
Heekeren, HR van. 1958. The Bronze-Iron Age of
Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Hornell, James. 1946. Watertransport, Origins and
Early Evolution. Cambridge: Cambridge University Press.
Koestoro, Lucas Partanda. 1993. “Tinggalan Perahu di
Sumatera Selatan: Perahu Sriwijaya?”, dalam Mindra Faizaliskandiar et.al.
(eds.). Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah.
Palembang: Pemda Dati I Sumatera Selatan.
_______1995. “Penempatan Situs-situs Bangkai Perahu
Indonesia dalam Sejarah Teknik Pembangunan Perahu di Asia Tenggara”, dalam
Hariani Santiko et.al. (des.). Kirana: Persembahan untuk Prof. DR. Haryati
Soebadio. Jakarta: Intermasa, hal. 203–216.
Lambert, David. 1987. Guide De L”Homme Prehistorique.
Paris: Librairie Larousse.
Lee, Everett S. 1995. Teori Migrasi. Alih bahasa
oleh Hans Daeng. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan.
Leur, van JC. 1955. Indonesian Trade and Society:
Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: W van Hoeve Ltd.
Lopa, Baharuddin. 1982. Hukum Laut, Pelayaran, dan
Perniagaan. Bandung: Alumni.
Manguin, Pierre-Yves. 1985. “Sewn-plank Craft of
Southeast Asia. A Preliminary Survey”, dalam S McGrail & E Kentley (eds.)
Sewn Planked Boats. Oxford: National Maritime Museum, hal. 319–343.
——————-. 1989. “The Trading ships of Insular Southeast.
Asia: New Evidence From Indonesian Archaeological Sites”, dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, Vol. I. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia, hal. 200–220.
Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi. 1987. “Perahu Karam
di Situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah Laporan Sementara”, dalam 10
Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dan Ecole Francaise
d‘Extreme-Orient. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 43–64.
Nontji, Anugerah. 1987. Laut Nusantara. Jakarta:
Djambatan.
Nooteboom, C, 1972. Sumatera dan Pelajaran di Samudera
Hindia. Alih bahasa oleh PS Kusumo Sutojo. Jakarta: Bhratara.
Peacock, BAV. 1965. “The drums of Kampong Sungai Lang”,
dalam Malaya in History, 10 (1).
Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology
Theories, Methods, And Practise. London: Thames and Hudson.
Selling, Eleanor, 1981. The Evolution of Trading State
in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada Columbia
University.
Wolters, OW, 1967. Early Indonesian Commerce. New
York, Ithaca: Cornel University Press
__________
Lucas Partanda Koestoro adalah
Peneliti pada Badan Arkeologi Medan
Belum ada tanggapan untuk "Arkeologi dan Pengenalan Prasejarah Perahu Nusantara"
Post a Comment