Menteri
Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung
Peredaran Bruto bagi wajib pajak (WP). Dengan aturan ini, petugas pajak dapat
menghitung penghasilan kotor atau omzet WP dengan cara lain, termasuk dari
biaya hidup WP.
Keluarnya
aturan ini sempat meresahkan para pengusaha karena seolah pemerintah akan
mengejar pajak secara agresif, menyasar ke semua orang dengan segala jurus.
Direktur
Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo
membeberkan sembilan fakta mengenai aturan tersebut. Berikut petikannya:
1.
Alasan terbitnya PMK Nomor 15 Tahun 2018
Peraturan
Menteri Keuangan ini merupakan pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang
Pajak Penghasilan (PPh), yang memerintahkan Menteri Keuangan untuk menetapkan
cara lain menghitung peredaran bruto.
Cara
lain ini ditujukan bagi wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan, tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau
tidak memperlihatkan pencatatan dan bukti-bukti pendukungnya.
2.
Alasan Penghitungan dengan cara lain
Pembukuan
berdasarkan standar akuntansi yang baik adalah sarana yang dibutuhkan untuk
dapat menghitung omzet dan laba bersih, sehingga dapat dihitung pajak terutang.
Tanpa
pembukuan, pencatatan atau penyerahan bukti pendukung, omzet dan laba bersih
sulit diketahui. Ini yang menjadi pertimbangan kenapa omzet harus dihitung
dengan cara lain.
3.
Cara Menghitung
Pajak
dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan Penghasilan Kena Pajak
(PKP).
Bagi
yang menyelenggarakan pembukuan, PKP dihitung dengan rumus (Penghasilan – Biaya
– PTKP untuk WP OP).
Bagi
WP yang membuat pencatatan, PKP dihitung dengan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto (NPPN) yang dibuat Dirjen Pajak dan dikurangi PTKP.
Contoh:
Ibu
Penisilin, seorang dokter.
Menurut
ketentuan NPPN 50 persen. Jika omzetnya Rp 4 miliar, maka NPPN-nya 50 persen x
Rp 4 miliar = Rp 2 miliar.
Jika
bujang maka PTKP-nya Rp 54 juta, sehingga PKP-nya sebesar Rp 1,946 miliar, dan
pajak terutang sebesar Rp 528,8 juta, dihitung dengan cara: 5 persen x 50 juta
= Rp 2,5 juta 15 persen x Rp 200 juta = Rp 30 juta 25 persen x Rp 250 juta = Rp
62,5 juta 30 persen x Rp 1,446 miliar = Rp 433,8 juta.
Bapak
Dendy, pedagang eceran mainan.
Menurut
pencatatan yang dilakukan, omzet selama setahun adalah Rp 4 miliar. Ia masuk
kategori UKM sesuai PP 46/2013, sehingga terutang PPh 1 persen final, sehingga
kewajiban pajaknya Rp 40 juta.
PT
Dendy Perkasa, memiliki omzet Rp 100 miliar dan berdasarkan pembukuan laba
bersih (penghasilan kena pajak) Rp 5 miliar. Maka pajak terutang 25 persen x Rp
5 miliar = Rp 1,25 miliar.
4.
Siapa yang Wajib Melapor?
Menurut
Pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.
Sedangkan
yang wajib melakukan pencatatan adalah WP orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan omsetnya kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.
Dalam
contoh di atas, PT Dendy Perkasa wajib menyelenggarakan pembukuan, sedangkan
Ibu Penisilin dan Bapak Dendy setidaknya wajib membuat pencatatan.
Kesimpulannya,
yang harus melapor hanya mereka yang punya usaha atau pekerjaan bebas, sehingga
karyawan atau pegawai tidak termasuk.
5.
Penerapan Penghitungan dengan Cara Lain
Cara
lain ini diterapkan pada saat pemeriksaan pajak. Hal ini dikarenakan pemeriksa
pajak tidak dapat meyakini kebenaran pembukuan dan bukti pendukung yang tidak
atau tidak sepenuhnya disampaikan.
Maka,
pemeriksa pajak akan menggunakan salah satu atau beberapa dari delapan metode
yang diatur antara lain transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan
dana, satuan dan atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan
bersih, SPT atau hasil pemeriksaan sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, atau
penghitungan rasio.
Dengan
kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dan
menyerahkan kepada pemeriksa, maka kewajiban pajaknya tidak akan dihitung
dengan cara lain ini.
6.
Apakah penggunaan cara lain ini adil?
Menurut
UU KUP, kita menganut sistem self assessment, yakni WP diberi kepercayaan
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
terutangnya.
Ini
hal yang luar biasa, maka jangan sampai kepercayaan ini disalahgunakan, antara
lain dengan tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
Di
sisi lain, Ditjen Pajak berwenang menguji kepatuhan wajib pajak, dengan
pemeriksaan. Pertama-tama yang akan diuji adalah pembukuan, pencatatan dan
bukti pendukung.
Jika
tidak tersedia, baru digunakan cara lain dan penghasilan neto akan dihitung
dengan NPPN. Jadi ini merupakan opsi terakhir, ketika kepercayaan menurut
sistem self-assessment tidak digunakan sebagaimana mestinya.
7.
Karyawan atau pegawai tidak termasuk sasaran
Wajib
Pajak karyawan cukup menyimpan bukti penerimaan penghasilan dan bukti
pemotongan pajak yang diterima, bukti-bukti kepemilikan aset atau hutang.
Jadi
tidak benar bahwa petugas pajak akan meneliti, mencari-cari kesalahan, atau
menggunakan PMK ini untuk menyisir objek pajak baru.
8.
Langkah yang harus diantisipasi wajib pajak
Jika
wajib pajak menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan yang baik sesuai
ketentuan, maka simpan seluruh dokumen
dan bukti. Menghitung pajak dengan benar dan bayar kewajiban sesuai
perhitungan, dan laporkan ke kantor pajak
9.
Catatan terhadap PMK-15
Terutama
frasa “tidak sepenuhnya” di Pasal 1 harus diberi penafsiran yang jelas agar
tidak subjektif dan menciptakan ketidakpastian di lapangan.
Ini
perlu untuk menjamin hak wajib pajak dan menciptakan keadilan dan kepastian
hukum.
Wajib
Pajak juga sebaiknya diberi hak untuk menguji metode yang digunakan pemeriksa
pajak, agar sesuai atau mendekati kondisi yang sebenarnya.
Jadi,
wajib pajak tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru, atau pemungutan
yang agresif dan mencari-cari kesalahan, karena aturan ini hanya aturan
pelaksanaan untuk menciptakan kepastian dan keadilan.
dikutip dari beberapa sumber.
Baca Juga
Menteri
Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung
Peredaran Bruto bagi wajib pajak (WP). Dengan aturan ini, petugas pajak dapat
menghitung penghasilan kotor atau omzet WP dengan cara lain, termasuk dari
biaya hidup WP.
Keluarnya
aturan ini sempat meresahkan para pengusaha karena seolah pemerintah akan
mengejar pajak secara agresif, menyasar ke semua orang dengan segala jurus.
Direktur
Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo
membeberkan sembilan fakta mengenai aturan tersebut. Berikut petikannya:
1.
Alasan terbitnya PMK Nomor 15 Tahun 2018
Peraturan
Menteri Keuangan ini merupakan pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang
Pajak Penghasilan (PPh), yang memerintahkan Menteri Keuangan untuk menetapkan
cara lain menghitung peredaran bruto.
Cara
lain ini ditujukan bagi wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan, tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau
tidak memperlihatkan pencatatan dan bukti-bukti pendukungnya.
2.
Alasan Penghitungan dengan cara lain
Pembukuan
berdasarkan standar akuntansi yang baik adalah sarana yang dibutuhkan untuk
dapat menghitung omzet dan laba bersih, sehingga dapat dihitung pajak terutang.
Tanpa
pembukuan, pencatatan atau penyerahan bukti pendukung, omzet dan laba bersih
sulit diketahui. Ini yang menjadi pertimbangan kenapa omzet harus dihitung
dengan cara lain.
3.
Cara Menghitung
Pajak
dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan Penghasilan Kena Pajak
(PKP).
Bagi
yang menyelenggarakan pembukuan, PKP dihitung dengan rumus (Penghasilan – Biaya
– PTKP untuk WP OP).
Bagi
WP yang membuat pencatatan, PKP dihitung dengan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto (NPPN) yang dibuat Dirjen Pajak dan dikurangi PTKP.
Contoh:
Ibu
Penisilin, seorang dokter.
Menurut
ketentuan NPPN 50 persen. Jika omzetnya Rp 4 miliar, maka NPPN-nya 50 persen x
Rp 4 miliar = Rp 2 miliar.
Jika
bujang maka PTKP-nya Rp 54 juta, sehingga PKP-nya sebesar Rp 1,946 miliar, dan
pajak terutang sebesar Rp 528,8 juta, dihitung dengan cara: 5 persen x 50 juta
= Rp 2,5 juta 15 persen x Rp 200 juta = Rp 30 juta 25 persen x Rp 250 juta = Rp
62,5 juta 30 persen x Rp 1,446 miliar = Rp 433,8 juta.
Bapak
Dendy, pedagang eceran mainan.
Menurut
pencatatan yang dilakukan, omzet selama setahun adalah Rp 4 miliar. Ia masuk
kategori UKM sesuai PP 46/2013, sehingga terutang PPh 1 persen final, sehingga
kewajiban pajaknya Rp 40 juta.
PT
Dendy Perkasa, memiliki omzet Rp 100 miliar dan berdasarkan pembukuan laba
bersih (penghasilan kena pajak) Rp 5 miliar. Maka pajak terutang 25 persen x Rp
5 miliar = Rp 1,25 miliar.
4.
Siapa yang Wajib Melapor?
Menurut
Pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.
Sedangkan
yang wajib melakukan pencatatan adalah WP orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan omsetnya kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.
Dalam
contoh di atas, PT Dendy Perkasa wajib menyelenggarakan pembukuan, sedangkan
Ibu Penisilin dan Bapak Dendy setidaknya wajib membuat pencatatan.
Kesimpulannya,
yang harus melapor hanya mereka yang punya usaha atau pekerjaan bebas, sehingga
karyawan atau pegawai tidak termasuk.
5.
Penerapan Penghitungan dengan Cara Lain
Cara
lain ini diterapkan pada saat pemeriksaan pajak. Hal ini dikarenakan pemeriksa
pajak tidak dapat meyakini kebenaran pembukuan dan bukti pendukung yang tidak
atau tidak sepenuhnya disampaikan.
Maka,
pemeriksa pajak akan menggunakan salah satu atau beberapa dari delapan metode
yang diatur antara lain transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan
dana, satuan dan atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan
bersih, SPT atau hasil pemeriksaan sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, atau
penghitungan rasio.
Dengan
kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dan
menyerahkan kepada pemeriksa, maka kewajiban pajaknya tidak akan dihitung
dengan cara lain ini.
6.
Apakah penggunaan cara lain ini adil?
Menurut
UU KUP, kita menganut sistem self assessment, yakni WP diberi kepercayaan
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
terutangnya.
Ini
hal yang luar biasa, maka jangan sampai kepercayaan ini disalahgunakan, antara
lain dengan tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
Di
sisi lain, Ditjen Pajak berwenang menguji kepatuhan wajib pajak, dengan
pemeriksaan. Pertama-tama yang akan diuji adalah pembukuan, pencatatan dan
bukti pendukung.
Jika
tidak tersedia, baru digunakan cara lain dan penghasilan neto akan dihitung
dengan NPPN. Jadi ini merupakan opsi terakhir, ketika kepercayaan menurut
sistem self-assessment tidak digunakan sebagaimana mestinya.
7.
Karyawan atau pegawai tidak termasuk sasaran
Wajib
Pajak karyawan cukup menyimpan bukti penerimaan penghasilan dan bukti
pemotongan pajak yang diterima, bukti-bukti kepemilikan aset atau hutang.
Jadi
tidak benar bahwa petugas pajak akan meneliti, mencari-cari kesalahan, atau
menggunakan PMK ini untuk menyisir objek pajak baru.
8.
Langkah yang harus diantisipasi wajib pajak
Jika
wajib pajak menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan yang baik sesuai
ketentuan, maka simpan seluruh dokumen
dan bukti. Menghitung pajak dengan benar dan bayar kewajiban sesuai
perhitungan, dan laporkan ke kantor pajak
9.
Catatan terhadap PMK-15
Terutama
frasa “tidak sepenuhnya” di Pasal 1 harus diberi penafsiran yang jelas agar
tidak subjektif dan menciptakan ketidakpastian di lapangan.
Ini
perlu untuk menjamin hak wajib pajak dan menciptakan keadilan dan kepastian
hukum.
Wajib
Pajak juga sebaiknya diberi hak untuk menguji metode yang digunakan pemeriksa
pajak, agar sesuai atau mendekati kondisi yang sebenarnya.
Jadi,
wajib pajak tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru, atau pemungutan
yang agresif dan mencari-cari kesalahan, karena aturan ini hanya aturan
pelaksanaan untuk menciptakan kepastian dan keadilan.
dikutip dari beberapa sumber.
Belum ada tanggapan untuk "Fakta Aturan Baru Sri Mulyani soal Hitung Omzet Wajib Pajak"
Post a Comment