Oleh Moh Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bila kita
cermati akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media
internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status
Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi
hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?
Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi,
bisa kita simpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak
Pertambahan Nilai.
Artinya bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika
melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam
hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha
mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban
tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih
dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah
keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam rangka kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di
bawah ini.
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan
alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan
tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut, peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas,
PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut
PPN.
Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp
520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT
ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh
Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di
tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta rupiah). Dengan
peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil.
Namun demikian karena omset sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya, maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha
Kecil, kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Hak dan Kewajiban
Pengusaha Kena Pajak
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :
1.
memungut,
2.
menyetor, dan
3.
melaporkan
PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
1.
mengkreditkan PPN yang
dipungut oleh suppliernya
2.
memperoleh kembali
(restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh
suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak
yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih
menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke
beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai
berikut:
1.
PT ABC membeli Alat
Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
2.
PT ABC melakukan
penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas adalah sebagai
berikut:
1.
PT XYZ menerbitkan
Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp
1.000.000,00.
Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:
·
Bagi PT XYZ faktur
pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
·
Sedangkan bagi PT ABC,
faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
2.
PT ABC menerbitkan
Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar
Rp 1.500.000,00:
·
Bagi PT ABC faktur
pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
·
Bagi Konsumen Langsung
PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
3.
PT ABC kemudian akan
menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur
Pajak Keluaran) 1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas
disebut Pengkreditan Pajak Masukan.
4.
Sejumlah Rp 500.000,00
tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi.
Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib
Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan
misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan/penyerahan
barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh
pihak yang membeli. Dalam contoh di atas, apabila PT XYZ karena suatu dan lain
hal dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang
diterbitkan oleh PT XYZ tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak
(pengurang) atas PPN yang harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus
menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.
Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai
ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan
pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011
terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ
ternyata telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur
Pajak dari PT XYZ tidak diakui dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak
oleh PT ABC. Akibatnya, PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp
1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC
juga dapat dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ
terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).
Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari dicabutnya status
Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu kiranya kita mencermati
daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Baca Juga
Oleh Moh Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bila kita
cermati akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media
internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status
Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi
hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?
Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi,
bisa kita simpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak
Pertambahan Nilai.
Artinya bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika
melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam
hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha
mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban
tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih
dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah
keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam rangka kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di
bawah ini.
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan
alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan
tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut, peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas,
PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut
PPN.
Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp
520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT
ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh
Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di
tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta rupiah). Dengan
peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil.
Namun demikian karena omset sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya, maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha
Kecil, kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Hak dan Kewajiban
Pengusaha Kena Pajak
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :
1.
memungut,
2.
menyetor, dan
3.
melaporkan
PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
1.
mengkreditkan PPN yang
dipungut oleh suppliernya
2.
memperoleh kembali
(restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh
suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak
yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih
menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke
beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai
berikut:
1.
PT ABC membeli Alat
Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
2.
PT ABC melakukan
penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas adalah sebagai
berikut:
1.
PT XYZ menerbitkan
Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp
1.000.000,00.
Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:
·
Bagi PT XYZ faktur
pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
·
Sedangkan bagi PT ABC,
faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
2.
PT ABC menerbitkan
Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar
Rp 1.500.000,00:
·
Bagi PT ABC faktur
pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
·
Bagi Konsumen Langsung
PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
3.
PT ABC kemudian akan
menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur
Pajak Keluaran) 1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas
disebut Pengkreditan Pajak Masukan.
4.
Sejumlah Rp 500.000,00
tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi.
Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib
Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan
misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan/penyerahan
barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh
pihak yang membeli. Dalam contoh di atas, apabila PT XYZ karena suatu dan lain
hal dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang
diterbitkan oleh PT XYZ tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak
(pengurang) atas PPN yang harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus
menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.
Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai
ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan
pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011
terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ
ternyata telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur
Pajak dari PT XYZ tidak diakui dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak
oleh PT ABC. Akibatnya, PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp
1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC
juga dapat dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ
terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).
Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari dicabutnya status
Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu kiranya kita mencermati
daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Belum ada tanggapan untuk "PENCABUTAN PKP"
Post a Comment