Pajak Penghasilan
(PPh) bersifat final dengan tarif 1 persen—untuk pendapatan tidak melebihi 4.8 miliar setahun—sudah
diberlakukan sejak 1 Juli lalu dan katanya harus sudah mulai dibayar paling
lambat 15 Agustus ini. Namun sampai hari ini belum ada petunjuk pelaksanaan
yang jelas. Sosialisasipun belum kunjung dilakukan.
Di sisi lainnnya, menurut seorang Accounts
Representative (AR) yang sempat penulis ajak berbincang kemarin, sampai saat
ini belum ada pemberitahuan untuk menunda. Artinya tenggat waku 15 Agustus
sampai saat ini belum berubah. Katanya, kemungkinan besar akan disosialisasikan
dalam minggu depan. Jika terlaksana, maka waktu yang tersisa akan sangat
sempit.
Sambil menunggu petunjuk teknis penghitungan,
pembayaran dan pelaporan, yang katanya akan diatur dengan peraturan menteri keuangan, mungkin ada baiknya jika wajib pajak tahu
informasi dasarnya terlebih dahulu.
Sebagai pemahaman
awal, berikut ini adalah 8 hal yang perlu diketahui mengenai Pengenaan PPh
bersifat final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP No.46 Tahun 2013.
1. Siapa Yang Dikenakan PPh Final
Sesuai PP ini?
Pada dasarnya, semua wajib pajak—baik
perorangan maupun badan (kecuali yang berbentuk Badan Usaha Tetap/BUT—dengan “peredaran bruto” yang memenuhi kriteria di bawah ini
dikenakan PPh Final sesuai PP 46:
“Wajaib pajak Non-BUT
yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak rnelebihi Rp
4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal.”
Apa itu peredaran
bruto? Dalam bahasa dagang
umum sering disebut “omzet”, sedangkan dalam akuntansi disebut “pendapatan” (revenue) saja.
2. Bagaimana Caranya Menentukan
Peredaran Bruto?
Sudah disebutkan di atas bahwa WP yang
dikenakan PPh Final sesuai dengan PP 46/2013 ini adalah “Pendapatan bruto tidak
melebihi 4.8 miliar.”
Pertanyaannya: bagaimana
caranya menentukan besarnya “peredaran bruto” yang akan dijadikan dasar
perhitungan?
Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung
sebagai dasar untuk menentukan 4.8 miliar adalah semua pendapatan termasuk
pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun TIDAK TERMASUK pendapatan yang
telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas.
Misalnya:
(a) Data pendapatan
(revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 4,778,000,000
Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000
Total = Rp 4,803,000,000
Simpulan: Dilihat dari totalnya, pendapatan PT. JAK
sudah di atas 4.8 miliar. Namun karena yang 25 juta berupa pendapatan jasa giro
dan telah dikenakan PPh final oleh pihak bank, maka peredaran bruto yang
diperhitungkan hanya Rp 4,778,000,000, sehingga masuk kriteria wajib pajak yang
dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen, sesuai dengan PP 46/2013 ini.
(b) Tahun fiskal 2012,
data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di Tangerang memiliki data
pendapatan sebagai berikut:
Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000
Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000
Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000
Total = Rp 5,795,000,000
Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang
melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK memenuhi kriteria wajib pajak yang
dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal
2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD Kencana dan
Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp
2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000
Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang
melebihi 4.8 miliar dalam satu tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari
pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum melewati Rp 4.8 miliar, sehingga
memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
Lebih jauh mengenai
“Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas”, PP 46/2013 ini juga merinci jasa
pekerjaan apa saja yang tergolong sehubungan dengan pekeraan bebas dan jasa apa
yang tidak.
Yang disebut dengan “jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas” dalam hal ini adalah
jasa yang dihasilkan oleh seorang:
·
Tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
·
Pemain musik, pembawa
acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama, dan
penari.
·
Olahragawan.
·
Penasihat, pengajar,
pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
·
Pengarang, peneliti,
dan penerjemah.
·
Agen iklan.
·
Pengawas atau
pengelola proyek.
·
Perantara
(makelar/calo).
·
Petugas penjaja barang
dagangan.
·
Agen asuransi.
·
Distributor perusahaan
pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling)
dan kegiatan sejenis lainnya.
Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN
dalam menentukan apakah peredaran bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8
miliar.
Sedangkan pendapatan
yang diperhitungkan dalam menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8
miliar” adalah penadapatan yang berupa:
·
Penghasilan dari
pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain sebagainya.
·
Penghasilan dari usaha
dan kegiatan.
·
Penghasilan dari
modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha.
·
Penghasilan lain-lain,
seperti pembebasan utang dan hadiah.
Menurut AR yang sempat penulis ajak
berbincang, untuk menentukan apakah WP memenuhi atau tidak memenuhi kriteria
“peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang dipersyarakatkan oleh PP
46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan evaluasi terhadap
peredaran bruto WP terlebih dahulu.
Masalah yang membuat
penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah
tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan “peredaran bruto tidak melebihi
4.8 miliar” yang digunakan adalah total peredaran selama satu tahun fiskal
(alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di
tengah-tengah tahun fiskal.
Nah, bagaimana caranya
menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar”?
Dalam evaluasi,
peredaran bruto yang digunakan adalah sebagai berikut:
(a) Dalam hal tahun
fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi kurang dari
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto tahun
fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu disetahunkan
(lihat contoh di bawah). Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender
sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013.
Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp
150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp
360,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun
2013 tidak melebihi Rp 4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun
2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalarn PP ini.
(b) Dalam hal WP
terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP ini namun
terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto dari bulan
saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan
sebelum berlakunya PP ini pada tahun fiskal yang sama dengan tahun berlakunya
PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp
150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp
600,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3
bulan tersebut tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh
mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai dengan akhir tahun fiskal
bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP ini.
(c) Dalam hal WP baru
terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto pada bulan
pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada
bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran
bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan
adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp
180,000,000
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan
pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi
Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh
bersifat final sesuai dengan PP ini.
3. Siapa Yang Tidak Dikenakan PPh
Final Sesuai PP ini?
WP orang pribadi (WPO)
yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan PP ini adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya:
·
Menggunakan sarana
atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak
menetap; dan
·
Menggunakan sebagian
atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.
Misalnya: Pedagang makanan keliling, pedagang asongan,
warung tenda di trotoar, dan sejenisnya.
Terhadap Wajib Pajak tersebut atas
penghasilannya tidak dikenai PPh Final sesui ketentuan dalam PP ini, melainkan
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
sebagaimana biasanya.
Sedangkan WP Badan
yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan ketentuan PP ini adalah:
·
WP Badan yang belum
beroperasi secara komersial; atau
·
WP Badan yang dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp 4.8 miliar.
WP yang masuk kriteria ini TIDAK DIKENAKAN PPh
Final sesuai dengan ketentuan dalam PP ini, melainkan dikenakan PPh sesuai
dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.
4. Berapa Besarnya Tarif PPh Final
Yang Dikenakan?
Besarnya tarif PPH Final adalah 1% (satu
persen).
5. Bagaimana Caranya Meghitung PPh
Final Sesuai PP 46 ini?
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan,
sesuai dengan PP 46/2013 ini, adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan DPP dengan 1
persen.
Misalnya:
Menggunakan contoh (a) sebelumnya, dimana PT.
JAK telah diketahui memiliki peredaran bruto Rp 4,778,000,000 (artinya belum
melebihi 4.8 miliar setahun). Jika pendapatan PT JAK di bulan Juli 2013 sebesar
Rp 315,000,000, sementara ada pendapatan jasa giro sebesar Rp 5,000,000 di
dalamnya, maka:
PPh Final = DPP x Tarif
PPh Final = (Rp 315,0000,000 – Rp 5,000,000) x 1%
PPh Final = Rp 310,000,000 x 1%
PPh Final = Rp 3,100,000
Apa yang terjadi jika
pada suatu bulan ternyata pendapatan WP telah melebihi 4.8 miliar?
Misalnya: Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh
pihak DJP pada tahun 2013, peredaran bruto PT. XYZ belum mencapai 4.8 miliar,
sehingga mulai Januari 2014 dikenakan PPh Final tarif 1 persen. Nah, apa yang
terjadi jika total pendapatan kumulatif PT. XYZ di bulan Juni 2014 ternyata
telah melebihi 4.8 miliar?
Menurut PP 46/2013 ini, PT. XYZ tetap
dikenakan PPh Final tarif 1 persen hingga tahun fiskal 2014 berakhir. Baru akan
dikenakan PPh sesuai dengan UU PPh di tahun fiskal berikutnya, yakni 2015.
6. Bagaimana Dengan Pajak Yang
Terutang dan Dibayar di Luar Negeri?
Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP tetap
DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.
7. Apakah Bisa Melakukan Kompensasi
Kerugian?
WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini
dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang TIDAK DIKENAKAN PPh
Final, dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Kompensasi kerugian
dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun fiskal.Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian pada tahun fiskal
2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada
tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.
·
Tahun fiskal
dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai bagian
dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final
berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap
dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.
·
Kerugian pada suatu
tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak dapat
dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya:
Jika PT. JAK pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan
mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak
dapat dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya.
8. Bagaimana Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporannya?
Dalam PP ini belum diatur secara rinci.
Katanya, akan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Sayangnya, penulis belum menemukan peraturan tersebut sampai saat artikel ini
dipublikasikan.
Begitu tersedia, JAK sudah pasti akan
publikasikan di sini. Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 ini sangat penting
untuk diketahui oleh WP, orang accounting, terlebih-lebih konsultan pajak,
mengingat jumlah WP jenis UKM (berpenghasilan tidak melebihi 4.8 miliar)
terhitung mayoritas di negeri kita.
Jika sampai dengan tanggal 15 Agustus belum
ada sosialisai maupun petunjuk penghitungan, pembayaran dan pelaporan, JAK
berharap pemerintah (DJP dalam hal ini) mau sedikit lebih bijak dengan menunda
pemberlakuan PP 46/2013 ini. Bagaimanapun juga, sejak rencana
pemberlakuan peraturan ini sudah banyak memperoleh penolakan, khususnya dari
UKM, karena dianggap memberatkan. Jangan sampai sudah berat masih harus
ditindih dengan penerapan aturan yang belum cukup jelas. Semoga.
Baca Juga
Pajak Penghasilan
(PPh) bersifat final dengan tarif 1 persen—untuk pendapatan tidak melebihi 4.8 miliar setahun—sudah
diberlakukan sejak 1 Juli lalu dan katanya harus sudah mulai dibayar paling
lambat 15 Agustus ini. Namun sampai hari ini belum ada petunjuk pelaksanaan
yang jelas. Sosialisasipun belum kunjung dilakukan.
Di sisi lainnnya, menurut seorang Accounts
Representative (AR) yang sempat penulis ajak berbincang kemarin, sampai saat
ini belum ada pemberitahuan untuk menunda. Artinya tenggat waku 15 Agustus
sampai saat ini belum berubah. Katanya, kemungkinan besar akan disosialisasikan
dalam minggu depan. Jika terlaksana, maka waktu yang tersisa akan sangat
sempit.
Sambil menunggu petunjuk teknis penghitungan,
pembayaran dan pelaporan, yang katanya akan diatur dengan peraturan menteri keuangan, mungkin ada baiknya jika wajib pajak tahu
informasi dasarnya terlebih dahulu.
Sebagai pemahaman
awal, berikut ini adalah 8 hal yang perlu diketahui mengenai Pengenaan PPh
bersifat final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP No.46 Tahun 2013.
1. Siapa Yang Dikenakan PPh Final
Sesuai PP ini?
Pada dasarnya, semua wajib pajak—baik
perorangan maupun badan (kecuali yang berbentuk Badan Usaha Tetap/BUT—dengan “peredaran bruto” yang memenuhi kriteria di bawah ini
dikenakan PPh Final sesuai PP 46:
“Wajaib pajak Non-BUT
yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak rnelebihi Rp
4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal.”
Apa itu peredaran
bruto? Dalam bahasa dagang
umum sering disebut “omzet”, sedangkan dalam akuntansi disebut “pendapatan” (revenue) saja.
2. Bagaimana Caranya Menentukan
Peredaran Bruto?
Sudah disebutkan di atas bahwa WP yang
dikenakan PPh Final sesuai dengan PP 46/2013 ini adalah “Pendapatan bruto tidak
melebihi 4.8 miliar.”
Pertanyaannya: bagaimana
caranya menentukan besarnya “peredaran bruto” yang akan dijadikan dasar
perhitungan?
Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung
sebagai dasar untuk menentukan 4.8 miliar adalah semua pendapatan termasuk
pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun TIDAK TERMASUK pendapatan yang
telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas.
Misalnya:
(a) Data pendapatan
(revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 4,778,000,000
Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000
Total = Rp 4,803,000,000
Simpulan: Dilihat dari totalnya, pendapatan PT. JAK
sudah di atas 4.8 miliar. Namun karena yang 25 juta berupa pendapatan jasa giro
dan telah dikenakan PPh final oleh pihak bank, maka peredaran bruto yang
diperhitungkan hanya Rp 4,778,000,000, sehingga masuk kriteria wajib pajak yang
dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen, sesuai dengan PP 46/2013 ini.
(b) Tahun fiskal 2012,
data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di Tangerang memiliki data
pendapatan sebagai berikut:
Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000
Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000
Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000
Total = Rp 5,795,000,000
Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang
melebihi 4.8 miliar, sehingga TIDAK memenuhi kriteria wajib pajak yang
dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal
2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik Minimarket UD Kencana dan
Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp
2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000
Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang
melebihi 4.8 miliar dalam satu tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari
pekerjaan bebas tidak dihitung, jadinya belum melewati Rp 4.8 miliar, sehingga
memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
Lebih jauh mengenai
“Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas”, PP 46/2013 ini juga merinci jasa
pekerjaan apa saja yang tergolong sehubungan dengan pekeraan bebas dan jasa apa
yang tidak.
Yang disebut dengan “jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas” dalam hal ini adalah
jasa yang dihasilkan oleh seorang:
·
Tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
·
Pemain musik, pembawa
acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati, pemain drama, dan
penari.
·
Olahragawan.
·
Penasihat, pengajar,
pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
·
Pengarang, peneliti,
dan penerjemah.
·
Agen iklan.
·
Pengawas atau
pengelola proyek.
·
Perantara
(makelar/calo).
·
Petugas penjaja barang
dagangan.
·
Agen asuransi.
·
Distributor perusahaan
pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling)
dan kegiatan sejenis lainnya.
Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN
dalam menentukan apakah peredaran bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8
miliar.
Sedangkan pendapatan
yang diperhitungkan dalam menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8
miliar” adalah penadapatan yang berupa:
·
Penghasilan dari
pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain sebagainya.
·
Penghasilan dari usaha
dan kegiatan.
·
Penghasilan dari
modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha.
·
Penghasilan lain-lain,
seperti pembebasan utang dan hadiah.
Menurut AR yang sempat penulis ajak
berbincang, untuk menentukan apakah WP memenuhi atau tidak memenuhi kriteria
“peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang dipersyarakatkan oleh PP
46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan evaluasi terhadap
peredaran bruto WP terlebih dahulu.
Masalah yang membuat
penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit rumit adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah
tahun fiskal (1 Juli 2013), sementara batasan “peredaran bruto tidak melebihi
4.8 miliar” yang digunakan adalah total peredaran selama satu tahun fiskal
(alias 12 bulan). Belum lagi kalau WP terdaftar sebagai wajib pajak di
tengah-tengah tahun fiskal.
Nah, bagaimana caranya
menentukan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar”?
Dalam evaluasi,
peredaran bruto yang digunakan adalah sebagai berikut:
(a) Dalam hal tahun
fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi kurang dari
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto tahun
fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini, lalu disetahunkan
(lihat contoh di bawah). Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender
sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013.
Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp
150,000,000. Peredaran bruto tahun 2013 yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp
360,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun
2013 tidak melebihi Rp 4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun
2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalarn PP ini.
(b) Dalam hal WP
terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP ini namun
terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto dari bulan
saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya PP ini, lalu
disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan
sebelum berlakunya PP ini pada tahun fiskal yang sama dengan tahun berlakunya
PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp
150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp
600,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3
bulan tersebut tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh
mulai pada bulan berlakunya PP ini sampai dengan akhir tahun fiskal
bersangkutan, dikenai PPh bersifat final sesuai ketentuan dalam PP ini.
(c) Dalam hal WP baru
terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan adalah: Jumlah peredaran bruto pada bulan
pertama diperolehnya penghasilan dari usaha, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada
bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran
bruto sebesar Rp 15,000,000. Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan
adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp
180,000,000
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan
pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi
Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh
bersifat final sesuai dengan PP ini.
3. Siapa Yang Tidak Dikenakan PPh
Final Sesuai PP ini?
WP orang pribadi (WPO)
yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan PP ini adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya:
·
Menggunakan sarana
atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak
menetap; dan
·
Menggunakan sebagian
atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.
Misalnya: Pedagang makanan keliling, pedagang asongan,
warung tenda di trotoar, dan sejenisnya.
Terhadap Wajib Pajak tersebut atas
penghasilannya tidak dikenai PPh Final sesui ketentuan dalam PP ini, melainkan
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
sebagaimana biasanya.
Sedangkan WP Badan
yang tidak dikenakan PPh Final sesuai dengan ketentuan PP ini adalah:
·
WP Badan yang belum
beroperasi secara komersial; atau
·
WP Badan yang dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp 4.8 miliar.
WP yang masuk kriteria ini TIDAK DIKENAKAN PPh
Final sesuai dengan ketentuan dalam PP ini, melainkan dikenakan PPh sesuai
dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana biasanya.
4. Berapa Besarnya Tarif PPh Final
Yang Dikenakan?
Besarnya tarif PPH Final adalah 1% (satu
persen).
5. Bagaimana Caranya Meghitung PPh
Final Sesuai PP 46 ini?
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan,
sesuai dengan PP 46/2013 ini, adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan DPP dengan 1
persen.
Misalnya:
Menggunakan contoh (a) sebelumnya, dimana PT.
JAK telah diketahui memiliki peredaran bruto Rp 4,778,000,000 (artinya belum
melebihi 4.8 miliar setahun). Jika pendapatan PT JAK di bulan Juli 2013 sebesar
Rp 315,000,000, sementara ada pendapatan jasa giro sebesar Rp 5,000,000 di
dalamnya, maka:
PPh Final = DPP x Tarif
PPh Final = (Rp 315,0000,000 – Rp 5,000,000) x 1%
PPh Final = Rp 310,000,000 x 1%
PPh Final = Rp 3,100,000
Apa yang terjadi jika
pada suatu bulan ternyata pendapatan WP telah melebihi 4.8 miliar?
Misalnya: Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh
pihak DJP pada tahun 2013, peredaran bruto PT. XYZ belum mencapai 4.8 miliar,
sehingga mulai Januari 2014 dikenakan PPh Final tarif 1 persen. Nah, apa yang
terjadi jika total pendapatan kumulatif PT. XYZ di bulan Juni 2014 ternyata
telah melebihi 4.8 miliar?
Menurut PP 46/2013 ini, PT. XYZ tetap
dikenakan PPh Final tarif 1 persen hingga tahun fiskal 2014 berakhir. Baru akan
dikenakan PPh sesuai dengan UU PPh di tahun fiskal berikutnya, yakni 2015.
6. Bagaimana Dengan Pajak Yang
Terutang dan Dibayar di Luar Negeri?
Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP tetap
DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.
7. Apakah Bisa Melakukan Kompensasi
Kerugian?
WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini
dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang TIDAK DIKENAKAN PPh
Final, dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Kompensasi kerugian
dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun fiskal.Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian pada tahun fiskal
2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada
tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.
·
Tahun fiskal
dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan sebagai bagian
dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT. JAK pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final
berdasarkan ketentuan PP ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap
dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.
·
Kerugian pada suatu
tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tidak dapat
dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya:
Jika PT. JAK pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan
mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak
dapat dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya.
8. Bagaimana Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporannya?
Dalam PP ini belum diatur secara rinci.
Katanya, akan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Sayangnya, penulis belum menemukan peraturan tersebut sampai saat artikel ini
dipublikasikan.
Begitu tersedia, JAK sudah pasti akan
publikasikan di sini. Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 ini sangat penting
untuk diketahui oleh WP, orang accounting, terlebih-lebih konsultan pajak,
mengingat jumlah WP jenis UKM (berpenghasilan tidak melebihi 4.8 miliar)
terhitung mayoritas di negeri kita.
Jika sampai dengan tanggal 15 Agustus belum
ada sosialisai maupun petunjuk penghitungan, pembayaran dan pelaporan, JAK
berharap pemerintah (DJP dalam hal ini) mau sedikit lebih bijak dengan menunda
pemberlakuan PP 46/2013 ini. Bagaimanapun juga, sejak rencana
pemberlakuan peraturan ini sudah banyak memperoleh penolakan, khususnya dari
UKM, karena dianggap memberatkan. Jangan sampai sudah berat masih harus
ditindih dengan penerapan aturan yang belum cukup jelas. Semoga.
Belum ada tanggapan untuk "PPh Final 1 Persen PP 46 Tahun 2013: 8 Hal Yang Perlu Diketahui"
Post a Comment