Sampai saat ini, masih
banyak praktisi pajak bahkan Wajib Pajak, berpendapat bahwa setiap imbalan jasa
konstruksi merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Benarkah demikian?
Apakah benar tidak ada jasa konstruksi yang dapat dipotong selain dengan PPh
Final Pasal 4 ayat (2)?
Jasa Konstruksi dalam UU PPh
Dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh) yang terbaru, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2008, jasa
konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Pertama, jasa konstruksi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan yang berikutnya disebutkan dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh.
Kebetulan kedua pasal
itu bicara mengenai pemotongan pajak atas penghasilan tertentu yang salah
satunya adalah penghasilan dari jasa konstruksi. Bedanya, PPh Pasal 4 ayat (2)
yang aturan pelaksanaannya ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51
Tahun 2008 stdd PP Nomor 40 Tahun 2009 bersifat final sementara PPh Pasal 23
tidak final.
Pada awalnya
berpendirian bahwa Pasal 4 ayat (2) adalah pasal dan ketentuan yang bersifat
lex specialis dalam soal pengenaan PPh atas penghasilan-penghasilan tertentu
jika dibandingkan dengan Pasal 23 maupun pasal-pasal lainnya dalam UU PPh.
Begitu juga dengan ketentuan mengenai pengenaan PPh atas jasa konstruksi.
Tetapi, dalam perjalanan waktu akhirnya penulis mendapat banyak masukan bahwa
ketentuan pengenaan PPh atas jasa konsturksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak lantas begitu saja mengeliminasi pasal-pasal lain yang juga mengatur
mengenai ‘objek’ yang sama.
Jujur saja, ungkapan
dalam tulisan ini adalah rangkuman pendapat dari beberapa rekan praktisi pajak
yang sempat berdiskusi dengan admin @tanyaPAJAK. Namun dalam hal ini sangat
setuju dengan pendapat tersebut.
Beda Subjeknya
Jika kita simak
untaian kata dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d maupun Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 UU PPh, maka akan dapat kita lihat bahwa penggunaan kata untuk ‘jasa
konstruksi’ di kedua pasal tersebut berbeda. Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU
PPh frase kata yang digunakan adalah‘usaha jasa konstruksi’. Sementara dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, frase yang digunakan hanya ‘jasa
konstruksi’ [tanpa didahului kata ‘usaha’ seperti di Pasal 4 ayat (2)].
Perbedaan kedua frase
kata dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan bahwa subjek pajak yang
dimaksud kedua pasal itu juga berbeda meskipun jasa yang dimaksudkan nyaris
sama, yaitu jasa konstruksi.
Menyangkut Sertifikasi & Kualifikasi Usaha
Dengan memperhatikan
frase kata usaha jasa konstruksi yang digunakan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,
penulis berpendapat bahwa subjek pajak yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU
PPh adalah subjek yang bidang usahanya secara formal adalah jasa konstruksi.
Artinya, hanya pengusaha yang sudah memperoleh sertifikasi dan juga kualifikasi
di bidang jasa konstruksi saja yang tercakup dalam Pasal 4 ayat (2) ini.
Pendapat ini
disimpulkan dengan memperhatikan pula historis pengenaan PPh Final atas jasa
konstruksi yang sebelumnya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 140
Tahun 2000. PP Nomor 140 ini adalah PP sebelum berlakunya PP Nomor 51 Tahun
2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009.
Dalam bagian
konsideran (bagian mengingat), PP Nomor 140 Tahun 2000 kala itu menyebut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi)
sebagai salah satu UU yang dikonsiderani. Ini dinilai oleh banyak praktisi
pajak waktu itu sebagai pernyataan implisit bahwa subjek pajak yang tercakup
dalam PP tersebut hanyalah pengusaha konstruksi yang sudah memperoleh
sertifikasi dan kualifikasi dalam bidang konstruksi. Bahkan umumnya sudah
mengantongi izin usaha di bidang konstruksi (Surat Izin Usaha Jasa
Konstruksi/SIUJK).
Kemudian pada saat PP
Nomor 51 Tahun 2007 diterbitkan, UU Jasa Konstruksi tidak lagi disebut-sebut
sebagai bagian dalam konsideran. Namun demikian, meskipun UU Jasa Konstruksi
tidak lagi disebut-sebut pada bagian konsideran di PP Nomor 51 Tahun 2008 dan
perubahannya, tetapi dalam Pasal 1 angka 4, 5 dan angka 6-nya, PP Nomor 51
Tahun 2008 menyatakan sebagai berikut:
“4. Perencanaan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
5. Pelaksanaan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan tau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan
konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement
and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design
and build).
6. Pengawasan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.”
Frase kata “…yang
dinyatakan ahli yang profesional…” dalam ketiga definisi tersebut menunjukkan
bahwa sebenarnya PP Nomor 51 Tahun 2008 memang khusus diperuntukkan bagi mereka
yang sudah mendapat penilaian sebagai profesional dalam bidang konstruksi.
Dalam ketentuan umum
jasa konstruksi, seperti dinyatakan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan
profesionalitas jasa konstruksi tersebut adalah dengan adanya Sertifikat Badan
Usaha (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
SBU adalah sertifikat
tanda bukti pengakuan formal atas tingkat/kedalaman kompetensi dan kemampuan
usaha dengan ketetapan klasifikasi dan kualifikasi usaha. Jadi dari dokumen ini
akan tercantum klasifikasi atau jenis pekerjaan yang dapat dilaksanakan oleh
pengusaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan) serta
kualifikasinya sekaligus (kecil, menengah, atau besar).
SBU hanya berlaku
selama 3 tahun sejak tanggal diterbitkan dengan ketentuan wajib melakukan
registrasi ulang pada tahun ke-2 dan tahun ke-3. Jika tidak melakukan
registrasi ulang, maka SBU yang bersangkutan dianggap tidak berlaku untuk tahun
yang bersangkutan dan tahun berikutnya. Meski SBU-nya dinyatakan tidak berlaku,
tetapi pengusaha jasa konstruksi tersebut tetap akan tercantum dan teregister
di dalam database LPJK, namun dapat dikatakan tidak mempunyai kualifikasi. Nah
mereka inilah yang dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009
dapat dikenakan tarif PPh Final lebih besar, yaitu 4% untuk jasa pelaksanaan
konstruksi dan 6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan konstruksi.
Sedangkan yang SBU-nya masih berlaku dikenakan tarif 2% atau 3% untuk jasa
pelaksanaan konstruksi (tergantung kualifikasi kecil atau menengah/besar) dan
tarif 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan.
Bukan PPh Final Jasa
Konstruksi
Bagi mereka yang belum
teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki SBU dari LPJK, maka pengenaan
PPh atas imbalan yang mereka terima bukan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa
Konstruksi. Imbalan yang mereka terima merupakan objek PPh Pasal 23. Itu pun
kalau mereka berstatus sebagai Wajib Pajak badan (perusahaan) dalam negeri.
Sementara jika pemberi jasa berstatus Wajib Pajak orang pribadi (individu)
dalam negeri, pengenaannya mengacu ke Pasal 21 UU PPh.
Sampai saat ini, masih
ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa meskipun pengusaha jasa konstruksi
belum memiliki izin usaha dan sertifikat, tetap dikenakan PPh Final Pasal 4
ayat (2) Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo.
PP Nomor 40 Tahun 2009. Alasannya karena Pasal 4 ayat (2) UU PPh merupakan
ketentuan yang lex specialis. Namun jika berpegang pada pendapat ini, maka akan
ada kesulitan bagi pengusaha jasa konstruksi yang bersangkutan terutama bila dikaitkan
dengan masih adanya pemotongan PPh Pasal 23 (tidak final) atas ‘jasa-jasa
konstruksi’ seperti berikut:
Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf r Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 244/PMK.03/2008);
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1
ayat (2) huruf s PMK Nomor 244/PMK.03/2008).
Jika ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa kedua jenis jasa tersebut
di atas dalam praktiknya merupakan satu kesatuan pekerjaan dalam sebuah proyek
pembangunan konstruksi. Lalu, apakah itu berarti pengusaha konstruksi yang
tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat jasa konstruksi ‘dipaksa’ harus
memilah mana pekerjaan yang dikenakan PPh Final dan mana yang dikenakan PPh
Tidak Final (PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21)? Di samping itu, ketentuan ini
juga akan mempersulit terutama dalam menentukan mana biaya-biaya usaha yang
non-deductible expense (yang terkait dengan PPh Final) dan mana yang deductible
(yang tidak terkait PPh Final).
Kesimpulan
Oleh karena itulah,
akhirnya setuju dengan pendapat beberapa rekan penulis yang menyatakan bahwa
ketentuan PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan
bila pemberi jasa (pengusaha jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau
sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga berwenang (misalnya LPJK). Jika izin
atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang diterapkan adalah:
2% untuk jasa
pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi
menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil,
menengah atau besar).
Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku,
misalnya karena pengusaha alpa atau lalai untuk melakukan registrasi ulang atau
lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi
dari lembaga berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya
bukanlah PPh Final seperti di atas melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk
badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak
orang pribadi).
Baca Juga
Sampai saat ini, masih
banyak praktisi pajak bahkan Wajib Pajak, berpendapat bahwa setiap imbalan jasa
konstruksi merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Benarkah demikian?
Apakah benar tidak ada jasa konstruksi yang dapat dipotong selain dengan PPh
Final Pasal 4 ayat (2)?
Jasa Konstruksi dalam UU PPh
Dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh) yang terbaru, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2008, jasa
konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Pertama, jasa konstruksi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan yang berikutnya disebutkan dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh.
Kebetulan kedua pasal
itu bicara mengenai pemotongan pajak atas penghasilan tertentu yang salah
satunya adalah penghasilan dari jasa konstruksi. Bedanya, PPh Pasal 4 ayat (2)
yang aturan pelaksanaannya ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51
Tahun 2008 stdd PP Nomor 40 Tahun 2009 bersifat final sementara PPh Pasal 23
tidak final.
Pada awalnya
berpendirian bahwa Pasal 4 ayat (2) adalah pasal dan ketentuan yang bersifat
lex specialis dalam soal pengenaan PPh atas penghasilan-penghasilan tertentu
jika dibandingkan dengan Pasal 23 maupun pasal-pasal lainnya dalam UU PPh.
Begitu juga dengan ketentuan mengenai pengenaan PPh atas jasa konstruksi.
Tetapi, dalam perjalanan waktu akhirnya penulis mendapat banyak masukan bahwa
ketentuan pengenaan PPh atas jasa konsturksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak lantas begitu saja mengeliminasi pasal-pasal lain yang juga mengatur
mengenai ‘objek’ yang sama.
Jujur saja, ungkapan
dalam tulisan ini adalah rangkuman pendapat dari beberapa rekan praktisi pajak
yang sempat berdiskusi dengan admin @tanyaPAJAK. Namun dalam hal ini sangat
setuju dengan pendapat tersebut.
Beda Subjeknya
Jika kita simak
untaian kata dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d maupun Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 UU PPh, maka akan dapat kita lihat bahwa penggunaan kata untuk ‘jasa
konstruksi’ di kedua pasal tersebut berbeda. Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU
PPh frase kata yang digunakan adalah‘usaha jasa konstruksi’. Sementara dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, frase yang digunakan hanya ‘jasa
konstruksi’ [tanpa didahului kata ‘usaha’ seperti di Pasal 4 ayat (2)].
Perbedaan kedua frase
kata dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan bahwa subjek pajak yang
dimaksud kedua pasal itu juga berbeda meskipun jasa yang dimaksudkan nyaris
sama, yaitu jasa konstruksi.
Menyangkut Sertifikasi & Kualifikasi Usaha
Dengan memperhatikan
frase kata usaha jasa konstruksi yang digunakan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,
penulis berpendapat bahwa subjek pajak yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU
PPh adalah subjek yang bidang usahanya secara formal adalah jasa konstruksi.
Artinya, hanya pengusaha yang sudah memperoleh sertifikasi dan juga kualifikasi
di bidang jasa konstruksi saja yang tercakup dalam Pasal 4 ayat (2) ini.
Pendapat ini
disimpulkan dengan memperhatikan pula historis pengenaan PPh Final atas jasa
konstruksi yang sebelumnya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 140
Tahun 2000. PP Nomor 140 ini adalah PP sebelum berlakunya PP Nomor 51 Tahun
2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009.
Dalam bagian
konsideran (bagian mengingat), PP Nomor 140 Tahun 2000 kala itu menyebut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi)
sebagai salah satu UU yang dikonsiderani. Ini dinilai oleh banyak praktisi
pajak waktu itu sebagai pernyataan implisit bahwa subjek pajak yang tercakup
dalam PP tersebut hanyalah pengusaha konstruksi yang sudah memperoleh
sertifikasi dan kualifikasi dalam bidang konstruksi. Bahkan umumnya sudah
mengantongi izin usaha di bidang konstruksi (Surat Izin Usaha Jasa
Konstruksi/SIUJK).
Kemudian pada saat PP
Nomor 51 Tahun 2007 diterbitkan, UU Jasa Konstruksi tidak lagi disebut-sebut
sebagai bagian dalam konsideran. Namun demikian, meskipun UU Jasa Konstruksi
tidak lagi disebut-sebut pada bagian konsideran di PP Nomor 51 Tahun 2008 dan
perubahannya, tetapi dalam Pasal 1 angka 4, 5 dan angka 6-nya, PP Nomor 51
Tahun 2008 menyatakan sebagai berikut:
“4. Perencanaan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
5. Pelaksanaan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan tau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan
konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement
and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design
and build).
6. Pengawasan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.”
Frase kata “…yang
dinyatakan ahli yang profesional…” dalam ketiga definisi tersebut menunjukkan
bahwa sebenarnya PP Nomor 51 Tahun 2008 memang khusus diperuntukkan bagi mereka
yang sudah mendapat penilaian sebagai profesional dalam bidang konstruksi.
Dalam ketentuan umum
jasa konstruksi, seperti dinyatakan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan
profesionalitas jasa konstruksi tersebut adalah dengan adanya Sertifikat Badan
Usaha (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
SBU adalah sertifikat
tanda bukti pengakuan formal atas tingkat/kedalaman kompetensi dan kemampuan
usaha dengan ketetapan klasifikasi dan kualifikasi usaha. Jadi dari dokumen ini
akan tercantum klasifikasi atau jenis pekerjaan yang dapat dilaksanakan oleh
pengusaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan) serta
kualifikasinya sekaligus (kecil, menengah, atau besar).
SBU hanya berlaku
selama 3 tahun sejak tanggal diterbitkan dengan ketentuan wajib melakukan
registrasi ulang pada tahun ke-2 dan tahun ke-3. Jika tidak melakukan
registrasi ulang, maka SBU yang bersangkutan dianggap tidak berlaku untuk tahun
yang bersangkutan dan tahun berikutnya. Meski SBU-nya dinyatakan tidak berlaku,
tetapi pengusaha jasa konstruksi tersebut tetap akan tercantum dan teregister
di dalam database LPJK, namun dapat dikatakan tidak mempunyai kualifikasi. Nah
mereka inilah yang dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009
dapat dikenakan tarif PPh Final lebih besar, yaitu 4% untuk jasa pelaksanaan
konstruksi dan 6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan konstruksi.
Sedangkan yang SBU-nya masih berlaku dikenakan tarif 2% atau 3% untuk jasa
pelaksanaan konstruksi (tergantung kualifikasi kecil atau menengah/besar) dan
tarif 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan.
Bukan PPh Final Jasa
Konstruksi
Bagi mereka yang belum
teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki SBU dari LPJK, maka pengenaan
PPh atas imbalan yang mereka terima bukan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa
Konstruksi. Imbalan yang mereka terima merupakan objek PPh Pasal 23. Itu pun
kalau mereka berstatus sebagai Wajib Pajak badan (perusahaan) dalam negeri.
Sementara jika pemberi jasa berstatus Wajib Pajak orang pribadi (individu)
dalam negeri, pengenaannya mengacu ke Pasal 21 UU PPh.
Sampai saat ini, masih
ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa meskipun pengusaha jasa konstruksi
belum memiliki izin usaha dan sertifikat, tetap dikenakan PPh Final Pasal 4
ayat (2) Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo.
PP Nomor 40 Tahun 2009. Alasannya karena Pasal 4 ayat (2) UU PPh merupakan
ketentuan yang lex specialis. Namun jika berpegang pada pendapat ini, maka akan
ada kesulitan bagi pengusaha jasa konstruksi yang bersangkutan terutama bila dikaitkan
dengan masih adanya pemotongan PPh Pasal 23 (tidak final) atas ‘jasa-jasa
konstruksi’ seperti berikut:
Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf r Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 244/PMK.03/2008);
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1
ayat (2) huruf s PMK Nomor 244/PMK.03/2008).
Jika ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa kedua jenis jasa tersebut
di atas dalam praktiknya merupakan satu kesatuan pekerjaan dalam sebuah proyek
pembangunan konstruksi. Lalu, apakah itu berarti pengusaha konstruksi yang
tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat jasa konstruksi ‘dipaksa’ harus
memilah mana pekerjaan yang dikenakan PPh Final dan mana yang dikenakan PPh
Tidak Final (PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21)? Di samping itu, ketentuan ini
juga akan mempersulit terutama dalam menentukan mana biaya-biaya usaha yang
non-deductible expense (yang terkait dengan PPh Final) dan mana yang deductible
(yang tidak terkait PPh Final).
Kesimpulan
Oleh karena itulah,
akhirnya setuju dengan pendapat beberapa rekan penulis yang menyatakan bahwa
ketentuan PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan
bila pemberi jasa (pengusaha jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau
sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga berwenang (misalnya LPJK). Jika izin
atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang diterapkan adalah:
2% untuk jasa
pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi
menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil,
menengah atau besar).
Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku,
misalnya karena pengusaha alpa atau lalai untuk melakukan registrasi ulang atau
lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi
dari lembaga berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya
bukanlah PPh Final seperti di atas melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk
badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak
orang pribadi).
Menangkan Jutaan Rupiah dan Dapatkan Jackpot Hingga Puluhan Juta Dengan Bermain di www(.)SmsQQ(.)com
ReplyDeleteKelebihan dari Agen Judi Online SmsQQ :
-Situs Aman dan Terpercaya.
- Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
- Proses Setor Dana & Tarik Dana Akan Diproses Dengan Cepat (Jika Tidak Ada Gangguan).
- Bonus Turnover 0.3%-0.5% (Disetiap Harinya)
- Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
-Pelayanan Ramah dan Sopan.Customer Service Online 24 Jam.
- 4 Bank Lokal Tersedia : BCA-MANDIRI-BNI-BRI
8 Permainan Dalam 1 ID :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar66
Info Lebih Lanjut Hubungi Kami di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com