TSUNAMI berasal dari bahasa
Jepang. Dalam ilmu kebumian, nama itu sekarang sudah dipakai secara
internasional. Prof. Izumi Yokoyama (1983) menerangkan, tsunami berarti
gelombang laut (
nami) yang menerjang pelabuhan (
tsu). Paling
tidak ada tiga penyebab terjadinya tsunami, yaitu gempa bawah laut, letusan
gunung api, dan tanah longsor di dalam atau ke dalam laut.
TSUNAMI berasal dari bahasa
Jepang. Dalam ilmu kebumian, nama itu sekarang sudah dipakai secara
internasional. Prof. Izumi Yokoyama (1983) menerangkan, tsunami berarti
gelombang laut (
nami) yang menerjang pelabuhan (
tsu). Paling
tidak ada tiga penyebab terjadinya tsunami, yaitu gempa bawah laut, letusan
gunung api, dan tanah longsor di dalam atau ke dalam laut.
Tidak semua gempa bawah laut
menimbulkan tsunami. Tsunami terjadi bila adanya dislokasi vertikal di dasar
laut, akibat gempa kuat yang sumbernya dangkal. Bila terjadi patahan di dasar
laut, masa batuan tiba-tiba terjerembab, maka air di atasnya jatuh tersedot.
Terjadilah gerakan osilasi naik-turun untuk mencapai keseimbangan, dan
timbullah tsunami ke segala arah dengan kekuatan yang sangat besar.
Bila terjadi longsor di dasar
laut, massa batuan akan jatuh ke lereng di bawahnya. Akibatnya, air di atasnya
menjadi terangkat, sehingga menimbulkan tsunami. Letusan gunung api bawah laut
juga merupakan sumber terjadinya tsunami, seperti terjadi saat Gunung Krakatau
meletus tahun 1888, dengan korban jiwa yang mencengangkan. Menurut Prof. J.A.
Katili (1983), tsunami yang terjadi 1883 karena runtuhnya Gunung Krakatau ke
dalam laut, sehingga air laut di atasnya masuk ke lubang runtuhan itu, dan
dilontarkan kembali menjadi gelombang yang dahsyat.”
Tsunami Krakatau 1883, berkaitan
dengan pembentukan kaldera Krakatau. Sutikno Bronto (1990) menulis adanya tiga
hipotesis pembentukan kaldera Krakatau dan menghubungkannya dengan tsunami yang
terjadi kemudian. Yokoyama (1987) mengajukan hipotesis, Gunung Danan, Gunung
Perbuatan, dan sebagian Gunung Rakata, dilontarkan secara berkeping-keping pada
saat terjadi letusan puncak. Letusan itu telah mengangkat massa air laut
sehingga membentuk kubah dan tsunami terjadi pada saat massa air terhempas ke
bawah.
Vincent dan Camus (1986)
menyatakan bahwa hilangnya tubuh gunung api itu karena adanya longsoran tipe
Bezymiany. Tsunami terjadi akibat adanya longsoran tersebut. Hipotesis ini
belum menemukan bukti-bukti yang kuat. Verbeek (1885) mengemukakan tsunami
Krkatau terjadi karena tubuh gunung api Danan, Perbuatan, dan bagian utara
Gunung Rakata runtuh secara vertikal.
Tsunami, gelombang besar yang
ditimbulkan oleh energi yang tiba-tiba merambat akibat adanya gempa bumi atau
letusan gunung api itu mempunyai daya hancur yang sangat mengerikan. Contoh
nyata dari dahsyatnya tsunami adalah saat Krakatau meletus. Gelombang raksasa
itulah yang menyapu wilayah pesisir Banten dan Lampung, sehingga, pada tahun
1883 menelan korban jiwa 36.417 orang. Kerusakan bentang alam juga sulit
dipulihkan dalam waktu singkat, bahkan mempunyai efek rentetan terhadap
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Secepat pesawat jet!
Tsunami mempunyai panjang gelombang
sampai 200 km. Periode tsunami, yaitu jangka waktu yang diperlukan untuk
datangnya dua puncak gelombang berurutan cukup lama, sampai 20 menit.
Kecepatannya bisa mencapai 800 km per jam, bergantung pada kedalaman laut. Pada
kedalaman laut 5.000 meter, kecepatan rambat tsunami sangat kilat, 250 meter
per detik. Sedangkan di kedalaman 4.000 meter, kecepatannya 200 meter per
detik. Bila dalamnya 40 meter, kecepatannya 20 meter per detik.
Di tengah lautan, tinggi
gelombang tsunami hanya antara 0,25 – 0,50 meter, sehingga kapal-kapal di
tengah laut sering tidak merasakan adanya tsunami. Namun, tinggi gelombang itu
bisa menaik luar biasa pada saat mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau
muara sungai. Air laut terjebak, sehingga volumenya berlipat ganda, menjadikan
kekuatan tsunami sangat mengerikan. Teluk-teluk di Lampung pada umumnya
berbentuk V, menjadikan energi tsunami semakin besar karena mempunyai efek
corong.
Tsunami mempunyai arus berputar,
bisa terjadi hanya beberapa menit saja, atau bisa terjadi beberapa hari. Saat
Krakatau meletus, tsunaminya mencapai ketinggian 30-40 meter, menyapu pantai,
dan masuk ke pedalaman pulau Jawa sejauh 10 mil dengan arus balik yang kuat.
Tanda-tanda tsunami
Apa yang bisa dilihat secara
sederhana sebagai tanda akan terjadinya tsunami? Biasanya tsunami didahului
dengan laut yang mendadak surut, yang berbeda dengan keadaan pasang surut yang
normal. Banyak ikan yang kandas di dasar pantai. Menyusutnya air laut dengan
tiba-tiba itu sebenarnya lembah gelombang tsunami telah datang, dan akan
disusul dengan puncak gelombang yang akan segera menghadang. Bila sudah terjadi
demikian, sekuat tenaga pun berlari, tak akan mampu mengalahkan kecepatan daya
sapu tsunami yang luar biasa. Apalagi bila gelombang ketiga menyusul dengan keadaan
yang jauh lebih dahsyat lagi.
Gelombang tsunami saat Krakatau
meletus terekam hingga di English Channel. Kecepatan rambatnya di Samudra
Hindia sekira 600 km per jam. Menurut Collin Renfrew (1983), tsunami yang
melanda pantai Banten dan Teluk Banten berkecepatan 550 km per jam. Gelombang
raksasa yang menerjang teluk-teluk di Lampung mencapai tinggi 30 meter,
sedangkan yang melanda pantai Banten lebih tinggi lagi, yaitu 40 meter.
Pada tahun 1981, Izumi membuat
diagram pembiasan tsunami yang berpusat di Krakatau. Dalam diagramnya
dilukiskan, jika pusat gempa di Krakatau, maka 30 menit kemudian gelombang laut
itu akan sampai di pantai Banten, dan dua jam setelah gempa, gelombang akan
sampai di Jakarta.
Dampak sosial
Masyarakat Banten yakin, ledakan
maut Gunung Krakatau itu karena murka Tuhan kepada penjajah yang telah berbuat
sewenang-wenang kepada masyarakat yang taat beragama. Keyakinan itu membakar
hati masyarakat. Tanggal 2 November 1883 masyarakat Banten menyerang masyarakat
Belanda di sana. Banyak tentara Belanda yang diserang penduduk dengan pedang
atau belati. Barak tentara Belanda di Cilegon diserang, sehingga beberapa
tentaranya meninggal.
Dalam bukunya, Pemberontakan
Petani Banten 1888, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo menulis, “Tidak dapat
disangsikan lagi bahwa selama dasawarsa yang mendahului pemberontakan,
kondisi-kondisi sosial-ekonomis telah menimbulkan tekanan-tekanan dan
tuntutan-tuntutan yang asing, dan tak terduga sebelumnya, dan karenanya terjadi
sumber frustrasi yang kumulatif.”
Wilayah Banten pada saat itu
sudah sangat menderita karena bencana alam yang melanda silih berganti sebelum
tahun pemberontakan. Tahun 1879 wabah penyakit ternak telah menurunkan jumlah
ternak menjadi hanya sepertiganya. Sawah-sawah menjadi ditelantarkan karena kelangkaan
kerbau untuk membajak sawah. Agar wabah tidak menyebar ke seluruh wilayah,
harus ada pembunuhan secara massal ternak tersebut.
Rakyat belum pulih dari
penderitaannya yang mencekam, 1883 Gunung Krakatau meletus, menyebarkan
kehancuran yang luar biasa. Di wilayah ini lebih 20.000 penduduk tewas, banyak
desa makmur hancur, dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi tanah yang
gersang. Penduduk memerlukan waktu untuk bangkit dari kehancuran ini.
Sartono berkeyakinan, letusan
Gunung Krakatau ada kaitan secara langsung dengan kecenderungan penduduk untuk
memberontak. Sartono menulis: “Tak disangsikan lagi bahwa wabah penyakit ternak
dan wabah demam, serta kelaparan yang diakibatkannya, dan disusul letusan
Gunung Krakatau, merupakan pukulan yang hebat bagi penduduk: akibat merosotnya
populasi ternak dan jumlah tenaga manusia yang tersedia, sekitar sepertiga dari
tanah pertanian tidak dapat ditanami selama tahun-tahun bencana itu
(1880-1882), sementara letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak
dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling
Caringin dan Anyer. Kegagalan panen selama beberapa tahun (1878-1886) telah
menyebabkan keadaan lebih buruk lagi.”
Dampak sosial perlu mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh setiap terjadi bencana. Indonesia merupakan
kawasan yang secara tektonik sangat labil, karena di sini setiap saat dapat
terjadi letusan gunungapi atau bumi yang berguncang bergoyang-goyang.***
Belum ada tanggapan untuk "Tsunami Krakatau 1888 dan Pemberontakan Petani Banten"
Post a Comment