Ketidakjelasan pungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di daerah menjadi kendala PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dalam merealisasikan penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) di awal 2011. Kredit BTN di awal tahun justru lebih rendah dibanding realisasi di 2010.
"Realisasi kredit sampai Maret 2011 (year to date) tercatat tidak maksimal, sebesar Rp 4,51 triliun, lebih rendah dari realisasi kredit di Maret 2010 sebesar Rp 4,55 triliun. Ini terkait dengan BPHTB, atau biaya pemindahan hak atas ini banyak kabupaten yang belum bisa memutuskan harga jualnya," ungkap Direktur Utama BTN Iqbal Latanro dalam jumpa pers di Menara BTN, Harmoni, Jakarta, Kamis (28/4/2011).
Selain BPHTB, lanjutnya, persoalan lain yang memengaruhi tidak maksimalnya realisasi kredit BTN di triwulan satu 2011 adalah banyaknya pengembang yang masih menunggu kepastian harga jual rumah untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Namun, untuk kantong-kantong atau wilayah-wilayah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN semuanya sudah punya instansi untuk mengelola BPHTB. Jadi tidak ada masalah," kata Dia.
Realisasi kredit BTN di awal 2011 tercatat, selama Januari sebesar Rp 1,16 triliun, Februari Rp 1,46 triliun, dan mulai meningkat di Maret sebesar Rp 1,87 triliun.
"Nah setelah Maret ada kepastian BPHTB dan harga jual untuk FLPP itu bisa dilihat pertumbuhannya cukup besar," jelas Iqbal.
Seperti diketahui, mulai 2011 pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pelaksanaan pungutan BPHTB ke pemerintah daerah. Namun masih banyak daerah yang belum siap untuk memungut BPHTB akibat belum keluarnya Perda sebagai landasan hukumnya.
Hal ini membuat para pelaku properti bingung untuk menyelesaikan transaksi propertinya. Sehingga transaksi properti di banyak daerah pun tersendat.
Sementara itu terkait perolehan laba BTN mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 245 miliar selama triwulan I-2011, naik 30,31% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 188 miliar.
"Kalau dibandingkan secara PSAK 50/55 perbandingan perolehan laba di akhir Maret 2011, tumbuh sekitar 1,54% atau sekitar Rp4 miliar dibandingkan akhir Maret 2010," ujar Iqbal.
Menurutnya, perolehan laba yang tidak terlalu bertumbuh akibat meningkatnya biaya dana (cost of fund). Hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan bunga kredit. "Sehingga delta laba kita lebih rendah padahal," jelasnya.
Sementara itu, bisnis syariah BTN memberikan kontribusi laba sebesar Rp 15,2 miliar selama triwulan pertama 2011.
"Untuk pembiayaannya sendiri tumbuh 41,51% dari Rp 2,14 triliun di Maret 2010 menjadi Rp 3,04 triliun di Maret 2011," kata Dia.
Dari perolehan dana pihak ketiga (DPK) sampai triwulan I-2011 tercatat sebesar Rp 2,47 triliun, tumbuh 56,49% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 1,57 triliun.
Ketidakjelasan pungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di daerah menjadi kendala PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dalam merealisasikan penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) di awal 2011. Kredit BTN di awal tahun justru lebih rendah dibanding realisasi di 2010.
"Realisasi kredit sampai Maret 2011 (year to date) tercatat tidak maksimal, sebesar Rp 4,51 triliun, lebih rendah dari realisasi kredit di Maret 2010 sebesar Rp 4,55 triliun. Ini terkait dengan BPHTB, atau biaya pemindahan hak atas ini banyak kabupaten yang belum bisa memutuskan harga jualnya," ungkap Direktur Utama BTN Iqbal Latanro dalam jumpa pers di Menara BTN, Harmoni, Jakarta, Kamis (28/4/2011).
Selain BPHTB, lanjutnya, persoalan lain yang memengaruhi tidak maksimalnya realisasi kredit BTN di triwulan satu 2011 adalah banyaknya pengembang yang masih menunggu kepastian harga jual rumah untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Namun, untuk kantong-kantong atau wilayah-wilayah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN semuanya sudah punya instansi untuk mengelola BPHTB. Jadi tidak ada masalah," kata Dia.
Realisasi kredit BTN di awal 2011 tercatat, selama Januari sebesar Rp 1,16 triliun, Februari Rp 1,46 triliun, dan mulai meningkat di Maret sebesar Rp 1,87 triliun.
"Nah setelah Maret ada kepastian BPHTB dan harga jual untuk FLPP itu bisa dilihat pertumbuhannya cukup besar," jelas Iqbal.
Seperti diketahui, mulai 2011 pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pelaksanaan pungutan BPHTB ke pemerintah daerah. Namun masih banyak daerah yang belum siap untuk memungut BPHTB akibat belum keluarnya Perda sebagai landasan hukumnya.
Hal ini membuat para pelaku properti bingung untuk menyelesaikan transaksi propertinya. Sehingga transaksi properti di banyak daerah pun tersendat.
Sementara itu terkait perolehan laba BTN mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 245 miliar selama triwulan I-2011, naik 30,31% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 188 miliar.
"Kalau dibandingkan secara PSAK 50/55 perbandingan perolehan laba di akhir Maret 2011, tumbuh sekitar 1,54% atau sekitar Rp4 miliar dibandingkan akhir Maret 2010," ujar Iqbal.
Menurutnya, perolehan laba yang tidak terlalu bertumbuh akibat meningkatnya biaya dana (cost of fund). Hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan bunga kredit. "Sehingga delta laba kita lebih rendah padahal," jelasnya.
Sementara itu, bisnis syariah BTN memberikan kontribusi laba sebesar Rp 15,2 miliar selama triwulan pertama 2011.
"Untuk pembiayaannya sendiri tumbuh 41,51% dari Rp 2,14 triliun di Maret 2010 menjadi Rp 3,04 triliun di Maret 2011," kata Dia.
Dari perolehan dana pihak ketiga (DPK) sampai triwulan I-2011 tercatat sebesar Rp 2,47 triliun, tumbuh 56,49% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 1,57 triliun.
Belum ada tanggapan untuk "Kisruh BPHTB Menghambat Bisnis KPR BTN"
Post a Comment